Jumat, 20 November 2009

Paradigma Baru Peradilan Akuntabel Dan Transparan

Yogyakarta- Masyarakat kini disodorkan pada drama perseteruan KPK VS POLRI yang memasuki babak baru pasca diperdengarkannya rekaman di Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu. Rekaman tersebut membuat masyarakat terkejut. Integritas lembaga hukum di Indonesia kian dipertaruhkan. Krisis kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum pun semakin kuat.

“Kalau polisi dan jaksanya sudah seperti itu, banyak rekayasa, mudah-mudahan hakimnya masih bisa menjaga martabat lembaga penegak hukum”, ujar Iwan Satriawan, Dosen Hukum UMY, saat memberikan pengantar pada Seminar Nasional “Paradigma Baru Pengawasan Hakim Menuju Peradilan Yang Akuntabel dan Transparan” hari Rabu (11/11/2009) di Kampus Terpadu Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).

Sementara itu, Koordinator Bidang Penilaian Prestasi Hakim dan Seleksi Hakim Agung Komisi Yudisial RI, Prof. Dr. H. Mustafa Abdullah, mengungkapkan, di tingkat dunia, indeks korupsi Indonesia selalu tinggi, termasuk yang terkorup. Korupsi di Indonesia bukan lagi kejahatan bisa, tapi sudah menjadi kejahatan luar biasa. “Jika tiga batu dijatuhkan dari pesawat terbang yang terbang di Indonesia, maka satu diantaranya akan mengenai kepala koruptor,” paparnya. Ia mengungkapkan anekdot yang menggambarkan betapa parahnya korupsi yang terjadi di Indonesia.

Selama ini penanganan kasus korupsi belum maksimal. Masih banyak kasus yang berakhir dengan putusan yang kurang memuaskan. Dari pantauan Indonesia Corruption Watch (ICW), dari 196 terdakwa kasus korupsi pada semester I tahun 2008, sebanyak 104 (53%) divonis bebas. 92 terdakwa yang divonis bersalah juga belum memberikan efek jera.

Dalam seminar yang diselenggarakan atas kerjasama Komisi Yudisial RI, Fakultas Hukum RI, dan Lembaga Hukum dan HAM PW Muhammadiyah DIY ini dijelaskan tentang Komisi Yudisial diharapkan mampu mereformasi sistem peradilan di Indonesia, meningkatkan kepercayaan pada hakim, menjaga citra hakim, dan meningkatkan kualitas hakim.

H. M. Hatta Ali, SH, MH, Ketua Muda Bidang Pengawasan Mahkamah Agung menambahkan bahwa hakim tidak boleh diintervensi pemerintah. Sejak tahun 2006, MA telah menyusun sistem pengawasan. Hal ini dilakukan demi meningkatkan pengawasan meningkatkan kualitas peradilan dan kehakiman. Ia menegaskan, ”Tolong para hakim! Paradigma di MA sudah berubah, kita harus meningkatkan kinerja kita”. Para hakim kini tidak bisa mengelak lagi dari pengawasan publik. Juni 2009 lalu, MA telah meresmikan Desk Informasi dan Pengaduan MA RI. Sesaat setelah diresmikannya, sudah terdaftar sejumlah 105 pengaduan melalui website resmi MA.

Seminar yang juga menghadirkan Nur Ismanto, SH, M.Si, Ketua Perhimpunan Advokasi Indonesia (PERADI) Cabang Yogyakarta dan Trisno Raharjo, Dosen dan pengamat hukum ini semakin menarik saat Sahlan, seorang mantan hakim yang hadir memberikan tanggapan akan laporan MA dan membeberkan pengalamannya selama menjadi hakim hingga memutuskan untuk mengundurkan diri karena tidak tahan dengan kondisi yang ditemuinya.

Peradilan yang akuntabel dan transparan akan terwujud jika kehormatan dan martabat hakim terjaga dalam dua hal, putusan hakim dan perilaku hakim. Didukung dengan pengawasan yang menyeluruh terhadap kondisi hakim dan peradilan.(H_cY)

Tidak ada komentar: