Sabtu, 19 Juni 2010

Multikulturalisme Gerakan Intelektual IMM

Gerakan mahasiswa sejak dahulu sampai saat ini mengalami pasang surut dalam penyikapan realitas nusantara. Seakan-akan kemunculannya tergantung pada momentum kebijakan politik yang kembang kempis membela kepentingan rakyat. Ketika para pengambil keputusan di anggap bersebrangan dengan nurani, disinilah kekuatan massa mahasiswa beraksi. Meski tidak sedikit model gerakan aksi dinilai sudah menanggalkan kesuciannya.

Belum lagi, tipologi gaya gertak sambal dan latahisme mengikuti arus isu politik diakui atau tidak sudah merasuk relung perubahan yang seharusnya bersih dari kedangkalan analisa, dan cukup banyak membuat aksi massa mahasiswa tersandera dengan berapa besar jumlah rupiah yang dikeluarkan ‘mafia’ aksi untuk mendongkrak suatu wacana/isu kehadapan publik.

Ironisnya, virus perompak dan pragmatisme sejatinya ditularkan para pemimpin negri antah berantah yang dengan sekenanya mengumbar slogan dan praksis pembelaan terhadap anak-anak bumiputera, tapi mengubah wajahnya berganti laiknya penguasa atau juga perompak dalam lautan kekuasaan yang berbondong-bondong mengamankan posisinya agar tetap menjaga stabilitas jemari cengkramannya dari ancaman ‘politikus putih’, walau istilah terakhir patut diduga berperilaku samahalnya dengan kelompok yang disebut lebih awal.

Jadilah stabilitas pemerintahan tidak hentinya di goncang beragam kepentingan, efeknya sudah dapat ditebak, rakyat kecil semakin sengsara dan kerusuhan dimana-mana. Sebut saja peristiwa SARA, Mei 1998, Ambon, Poso dan Tanjung Priok beberapa waktu lalu.

Slogan Ki Hajar Dewantara, Ing Ngarso Sung Tulodho-Ing Madyo Mangun Karso-Tut Wuri Handayani (Di depan publik memberikan suri tauladan yang baik, Di antara publik membangun kinerja yang bagus, di belakang memberikan motivasi) dan perwujudannya berupa jargon klasik, Gemah Ripah Loh Jinawi (kemakmuran, kesenangan, kesuburan yang dinikmati oleh seluruh penduduk tanpa kecuali) kenyataannya cukup berhenti semata-mata ungkapan mutiara pendahulu negeri kepulauan ini yang tidak mampu diwujudkan keturunannya.

Sementara, anak-cucu lainnya di lingkaran kesatuan ketatanegaraan bidang keamanan dan ketertiban, sering terlibat dalam beragam kasus kekerasan dan mengabaikan nilai-nilai universal –hak asasi manusia-.

Anomali serupa terjadi di dunia kampus, kerusuhan mahasiswa universitas negeri Makassar dan peristiwa sejenisnya menjadikan wajah Indonesia terlalu menyedihkan tampil di media-media asing.

Diluar efek ketidakmampuan pemerintah menanggulangi pelbagai persoalan, kaum muda mahasiswa kini dibelit kecenderungan mengikuti isu yang berkembang dan menanti common enemy seperti era dimana tumbangnya Soeharto. Posisi ini memaksa kelompok mahasiswa mengambil peran beragam guna kelangsungan organisasi gerakan mereka. Ada yang secara terus terang melangkah dunia politik an sich, model pemberdayaan kaum marginal, atau pun berjubah politik dakwah.

Dari sekian banyak tipologi gerakan mahasiswa itu, IMM sejak lahirnya menegaskan karakteristik gerakan intelektualnya. IMM mampu berijtihad di wilayah ini meski diakui kurang greng mementaskan gerakan massanya. Wajar, sebab IMM bukanlah gerakan massa semata, tapi lebih berorientasi gerakan kaderisasi.

Pun jua, apa lacur jika kita meng-klaim IMM sebagai gerakan Intelektual lantas terlena beradu argumen sesuai bahan bacaan tapi ‘melupakan‘ ruang yang semestinya di garap?.

Pemberdayaan potensi kearifan lokal adalah kunci mengapa IMM harus memainkan peran yang secara nyata belum di seriusi kalangan gerakan kaum muda mahasiswa lainnya.

Melalui Muktamar XIV IMM di Bandung 21-26 April 2010 lalu yang melahirkan panah baru perjuangan bernama Bidang Seni, Budaya dan Olahraga. IMM diharapakan mampu untuk menggali dan memasyaratkan kreatifitas seni, budaya dan olahraga sebagai cara Ijtihad strategis IMM untuk masa depan dalam men-syiarkan gerakan dakwah Islam dan masyarakat Islam (sasaran khusus) kepada khalayak ramai.

Dari sinilah, IMM laksana kembang yang warna dan semerbaknya menggugah rasa ditengah kejenuhan gerakan mahasiswa dan masyarakat Indonesia akan kondisi politik dewasa ini.

Namun disini pulalah kader IMM di uji bukan pada tataran konsep yang melangit tapi juga masuk pada wilayah tataran praksis dan yakni konsep yang membumi. Sehingga identitas kader IMM tentang culture studies dan Muhammadiyah sebagai gerakan kultural baik dibeberapa sendi patologi sosial maupun kondisi sosial mampu diejawantahkan oleh kader muda Muhammadiyah.

Dengan kata lain, isu Multikulturalisme Gerakan Intelektual sepatutnya dijadikan ruh gerakan yang mencirikan keberpihakan IMM. Sehingga multikulturalisme sebagaimana diungkapkan Hilda Hernandes dalam buku Multiculturalisme Educations: A Teacher Guide To Linking Context, Process And Content benar-benar dapat menggapai kerjasama, kesederajatan dan mengapresiasi dalam dunia yang kian kompleks dan tidak monokultur lagi.

Parsudi Suparlan (2002) menyebutkan bahwa istilah multikultural telah membentuk suatu ideologi yang disebut multikulturalisme. Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara sukubangsa atau kebudayaan sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Ulasan mengenai multikulturalisme mau tidak mau akan mengupas beragam permasalahan seputar dukungan terhadap ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas.

Sebab itu, wacana ini patut dijadikan langkah awal IMM dan membuat gerakan kita semakin progressif dipercaturan gerakan mahasiswa Indonesia.

ISU GERAKAN
- Multikulturalisme Gerakan Intelektual IMM (kognitif-afektif)
- Mengembangkan potensi budaya lokal melalui transformasi kader IMM (psikomotorik)

MODUS GERAKAN
1. Kajian Culture Studies
2. Dialog Peradaban Nusantara
3. Madrasah Kebudayaan
4. Media Literasi Gerakan
5. Menggali dan memasyarakatkan kreativitas seni, budaya dan olah raga

STRATEGI GERAKAN
1. Capacity Building
2. Penguatan Gerakan Basis dan Basis Gerakan
3. Membangun Jejaring Kebudayaan
4. Marketing Kader Seniman, Budayawan dan Olahragawan



Sumber: http://www.facebook.com/home.php?#!/notes/malwy-azmatkhan/multikulturalisme-gerakan-intelektual-imm/405531231099

Minggu, 06 Juni 2010

Polisi bongkar jaringan mahasiswa pengedar ganja

Jajaran Polres Sukoharjo berhasil membongkar sindikat ganja jaringan mahasiswa dalam operasi anti Narkoba (Antik). Setelah dua pelaku diamankan, empat pelaku lagi berhasil diringkus di salah satu rumah kos di Jl Mlilis Nilasari, Desa Gonilan, Kartasura, Kamis sore (22/4).

Keempat pelaku yang diringkus masing-masing BS 20, warga Kudus, Riz, 21, warga Kwandungan, Ngawi, Jawa Timur, Hen, 21, Ngadirejo, Kartasura dan Sur alias Pakde 32 warga Purbayan, Baki, Sukoharjo.

Riz dan BS diketahui masih tercatat sebagai mahasiswa perguruan tinggi swasta di Kartasura, sementara Sur alias pakde diketahui sebagai sang pengedar ganja.

Keterangan yang dihimpun Espos, menyebutkan, terbongkarnya jaringan pengedar ganja mahasiswa bermula dari hasil pengembangan dan informasi warga yang menyebut BS kerap mengkonsumsi Narkoba. Setelah melakukan penyelidikan, BS akhirnya ditangkap, Kamis sekitar pukul 16.00 WIB di Jl Mliwis, Nilasari, Desa Gonilan, dengan berhasil diamankan satu paket ganja kering.

Dari keterangan BS, selang dua jam kemudian tiga pelaku lain berhasil diamankan di rumah kos BS. Diketahui tiga pelaku yang diamankan kemudian Riz, Sur dan Hen, kedapatan usai menghisap ganja bersama-sama di areal persawahan di Desa Singopuran, Kartasura.
Setelah dibekuk petugas, keempat pelaku langsung di gelandang ke Dok Kes Polwil untuk dilakukan tes urin dan hasilnya keempatnya positif.

Kapolres Sukoharjo AKBP Suharyono melalui Kasatreskrim AKP Sukiyono, mengatakan, tersangka Pakde diketahui berperan sebagai pengedar. Sementara BS berperan sebagai kurir.

“Kasus ini masih akan kami kembangkan, kami menduga sindikat ini mempunyai sasaran mahasiswa dan diduga masih punya jaringan lain, ini yang masih kita lidik,” tegasnya kepada wartawan, Jumat (23/4) di ruang kerjanya. sumber: solopos [heru cahyono]

Massa PC IMM Klaten Demo Kecam Israel

Klaten. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Kabupaten Klaten hari ini melakukan Aksi unjuk rasa mengecam kebrutalan tentara Israel yang digelar di Alun-alun Klaten, Minggu (6/6). Semua personel PC IMM Klaten yang tergabung massa dari sejumlah Ormas Islam menginjak-injak dan membakar bendera negara zionis itu serta menyerukan pemboikotan terhadap produk-produk Yahudi.

Sebelumnya, pengunjuk rasa yang jumlahnya ratusan orang berkonvoi dari GOR Gelarsena menuju Alun-alun Klaten. Mereka mengendarai kendaraan roda empat, sepeda motor serta sepeda onthel. Sepanjang perjalanan, massa berorasi mengutuk tindakan Israel yang menyerang kapal pengangkut bantuan bagi warga Palestina.

Para demonstran yang berasal dari berbagai elemen seperti Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) Klaten, Forum Umat Islam (FUI) Klaten, Komando Kesiapan Angkatan Pemuda Muhammadiyah (Kokam) Klaten, Yayasan Klaten Peduli Umat (YKPU), Forum Komunikasi Antar Masjid (FKAM) Klaten, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Klaten, dan sebagainya membawa bendera Ormas masing-masing.

Konvoi para demonstran mendapat perhatian warga serta pengguna jalan yang menonton. Puluhan aparat kepolisian dikerahkan untuk mengantisipasi hal-hal yang tak diinginkan. Koordinator aksi, Taufiq Hadi mengatakan, blokade di Jalur Gaza membuktikan bahwa Israel telah melakukan tindakan semena-mena. “Masyarakat dunia harus bertindak!”[Heru Cahyono]

Sabtu, 05 Juni 2010

Gerakan Mahasiswa

Sekali Lagi, Tentang Mahasiswa dan Gerakannya
Oleh: Khelmy K. Pribadi*

“We the people fight for our existence. We don’t claim to be perfect but we’re free”
(Little by little, Heathen Chemistry, Oasis, [2002])

Manakala membicarakan tentang Gerakan mahasiswa tentu-untuk generasi sekarang -akan sangat dibayangi fakta sejarah perjuangan mahasiswa pada Revolusi Mei’98. Dalam konteks Indonesia paling dekat adalah konteks waktu 1998 peran oposisi adhoc gerakan mahasiswa merupakan peran historis yang dipaksakan secara struktural oleh sebuah rezim orde baru yang menjalankan satu jenis fasisme baru yaitu fasisme pembangunan (developmental fascism). Peran ini menjadi permanen sepanjang sejarah rezim Orde baru-sampai saat ini-karena diberangusnya semua kekuatan oposisi formal (dalam kondisi demokrasi merupakan peran partai politik) dan ditundukkannya masyarakat sipil secara korporatis-fasistis., maupun melalui kekerasan terbuka. Ini menguatkan Thesa bahwa sebuah gerakan mahasiswa tidak akan lahir dalam situasi vakum. Artinya rahim gerakan mahasiswa adalah peristiwa kesejarahan yang memaksa gerakan ini lahir dan menjadi lokomotif sejarah yang secara aktif mewarnai sejarah. Maka ruang kesejarahan ini sangatlah kontekstual dan sangat tidak sama antara satu zaman dengan zaman yang lain.
Namun bukan rahasia lagi manakala mahasiswa dengan gerakannya di era reformasi, belum bisa menyingkirkan antek orde baru dari pusaran kekuasaan. Menurut Sebastian de Grazia (1966 : 72-74), kondisi seperti ini secara cepat atau lambat, otomatis akan menimbulkan suatu situasi anomie yang kuat di dalam kehidupan ber-Masyarakat, ber-Bangsa dan ber-Negara, yang pada akhirnya akan berdampak buruk bagi kesejahteraan mayoritas rakyat.

Dalam sosiologi pengetahuan, kaum intelektual dimasukkan sebagai kelas sosial baru (The new class) yang menguasai ilmu pengetahuan. Bagi kelas sosial baru ini, pengetahuan merupakan kapital budaya (cultural capital). Relasi-relasi kepentingan mampu mengarahkan dan membentuk cultural capital tersebut menjadi kapital uang atau kapital politik.
Istilah politik dalam tulisan ini dipahami sesuai dengan konsep berpikirnya Antonio Gramsci, sehingga di sini politik didefinisikan sebagai aktivitas pokok manusia dimana manusia dapat mengembangkan kapasitas dan potensi dirinya. (Roger Simon, 1999 : 136).
Jika definisi di atas diejawantahkan dalam bentuk aksi, maka mahasiswa dapat berpolitik dalam dua pengertian, yakni : Pertama, berpolitik dalam arti konsep (Concept). Disini mahasiswa secara individual maupun kelompok, harus mengajukan gagasan, pikiran, solusi atau interpretasi mengenai apa yang menjadi kehendak dari mayoritas rakyat. Kedua, berpolitik dalam arti kebijakan (Belied). Di sini mahasiswa sebagai kelompok harus menjadi Pressure Groups yang memperjuangkan aspirasi rakyat, dengan cara memengaruhi orang-orang yang memegang kebijakan ataupun yang menjalankan kekuasaan, dari luar sistem kekuasaan.
Apabila mahasiswa berpolitik dalam artian yang pertama, maka mahasiswa dituntut untuk benar-benar memahami cara berpikir ilmiah, yaitu teratur dan sistematik. Sedangkan apabila mahasiswa berpolitik dalam arti kebijakan (Belied), maka mahasiswa harus betul-betul mengetahui posisi individu dalam kehidupan ber-Negara, posisi konstitusi dalam kehidupan ber-Negara, posisi Negara dalam menjalin relasi dengan warganya, konstelasi politik terkini dan menguasai manajemen aksi. Pada tataran ideal, mahasiswa seharusnya berpolitik dalam arti konsep (Concept) maupun dalam arti kebijakan (Belied) secara bersamaan. Ini berarti, mahasiswa harus berpolitik sebagai politisi ekstra perlementer.

Gerakan Moral VS Gerakan Politik

Dari penjelasan di atas, kita bisa memahami bahwa kondisi subyektif dan kondisi obyektif secara signifikan kemudian membentuk watak gerakan mahasiswa. Secara sederhana, sebuah gerakan merupakan suatu proses untuk mencapai perubahan jangka panjang seperti yang dicita-citakan. Perubahan jangka panjang ini adalah perubahan yang visioner (esoterik), yakni perubahan untuk menciptakan tatanan masyarakat yang ideal. Dengan demikian, sebuah gerakan mahasiswa tidak hanya membutuhkan modal berupa keberanian di tingkat praksis (eksoterik), tetapi juga kecanggihan di tingkat wacana.
Pendekatan esoterik biasanya kita akan memasuki wilayah substantif, berupa kajian tentang substansi gerakan dan banyak bermain dalam dialektika wacana secara terus-menerus. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul biasanya adalah bagaimana sebuah orientasi perubahan dirumuskan, landasan teoritis dan ideologis apa yang melingkupi perubahan, serta tatanan perubahan masyarakat yang bagaimana yang diharapkan akan terwujud? Dalam konteks ini, maka kekuatan wacana dengan visi yang jelas merupakan modal yang sangat berharga dalam merumuskan orientasi perubahan.
Sementara pendekatan eksoterik, membuat kita memasuki wilayah praksis gerakan. Ia akan berproses dalam persoalan strategi gerakan dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: bagaimana melakukan sebuah perubahan, cara apa yang diperlukan untuk mencapai tujuan perubahan yang dimaksud? Jawaban-jawaban terhadap pertanyaan ini tersebut tentu saja kemudian terumuskan dalam wilayah strategis taktis sebuah gerakan.

Dari pendekatan di atas, maka kita akan bisa melihat bahwa gerakan mahasiswa akan terpola dalam dua pola besar yang untuk sederhananya kita bagi menjadi dua, yakni gerakan moral dan gerakan politik. Gerakan moral (moral force) biasanya dipersepsikan sebagai sebuah gerakan yang memihak pada nilai-nilai moral universal, yakni nilai kebenaran, keadilan, demokratisasi, hak azasi manusia, dan sebagainya. Sebuah gerakan moral biasanya tidak masuk dalam wilayah kepentingan politik praktis dengan saling dukung-mendukung terhadap kekuatan kelompok tertentu (power block). Mereka hanya mendukung kepentingan nilai yang menurut mereka bagus. Dengan demikian, kalau misalnya sebuah partai politik (parpol) mengedepankan nilai-nilai keadilan, demokratisasi, HAM, dan sebagainya, maka mereka akan mendukungnya dalam arti untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut, bukan mendukung kekuatan parpol secara politis. Sebaliknya, kalau ternyata parpol tersebut tidak lagi memperjuangkan nilai-nilai dengan standar moralitas yang dimaksud, maka sebuah gerakan moral akan menarik dukungannya, bahkan melawannya. Jadi, ringkasnya sebuah gerakan moral adalah gerakan yang mendukung untuk memperjuangkan nilai-nilai dengan ukuran moralitas tertentu. Disinilah independensi gerakan mahasiswa akan terlihat. Mahasiswa bukan subordinat kekuatan politik tertentu.
Sementara gerakan politik merupakan gerakan untuk melakukan perubahan politik dengan berpihak pada kekuatan politik tertentu, atau menjadikan dirinya sebagai lokomotif politik mahasiswa. Mereka tidak alergi untuk melakukan sharing dan lobi-lobi politik dengan kekuatan politik yang ada. Bagi mereka hal ini perlu dilakukan sebagai strategi untuk mencapai perubahan. Mereka mengkritik gerakan moral sebagai ketakutan untuk bersentuhan dengan kepentingan politik, dan hanya mampu melakukan himbauan moral. Keberpihakan pada kekuatan politik tertentu secara riel tidak apa-apa, sepanjang ide-ide perubahan yang diperjuangkan mahasiswa sejalan dengan mereka. Dalam kondisi tertentu dan dibutuhkan, organisasi mahasiswa bahkan berubah menjadi organisasi politik seperti yang pernah dilakukan mahasiswa Indonesia di Belanda pada 1908 dengan mendirikan Perhimpunan Indonesia.
Sosiolog Arief Budiman bahkan mengkritik gerakan moral dengan mengistilahkannya sebagai “koboi”. Ia datang ketika ada kerusuhan dan kekacauan yang dilakukan oleh para penjahat di suatu daerah. Setelah para penjahat dibasmi dan keadaan kembali tenang, maka sang koboi pun pergi lagi mengembara kemana-mana. Demikian seterusnya setiap ada kekacauan, sang koboi datang dan pergi lagi.

Dari kedua konteks di atas, maka seyogiayanya gerakan mahasiswa membutuhkan pola-pola gerakan yang bervariasi. Kecenderungan pada kutup ekstrim tertentu antara gerakan moral dan gerakan politik justru akan mereduksi peran gerakan itu sendiri. Karena itu, apapun penjelasannya, kedua pola tersebut tetap dibutuhkan. Yang penting tetap mampu memberikan nuansa dalam proses perubahan yang visioner dan esoterik. Dengan kata lain, mengutamakan salah satu pola (gerakan politik maupun gerakan moral) akan berujung pada kegagalan analitik untuk merumuskan strategi gerakan dalam mencapai orientasi perubahan. Dalam bahasa yang lebih lunak kaum intelektual (baca; Mahasiswa) harus melakukan gerakan empowering terhadap individu dan kelompok-kelompok kepentingan dengan tetap melakukan oposisi terhadap domain-domain publik.

*Mantan pengurus Jurnal Al Ma’arij IMM Ki Bagus Hadikusumo UNS sekarang aktif sebagai Liaison Program pada Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial (PSB PS) Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Kamis, 03 Juni 2010

Jangan Pernah Tinggalkan Penjara Israel

Sesudah kapal Mavi Marmara digiring kapal perang Israel, dan sekarang bersandar di pelabuhan Israel, Ashdod, serta para aktivis kemanusiaan dimasukkan ke dalam penjara Israel. Inilah sebuah episode perjuangan para aktivis yang sudah berani mengambil resiko, dan bahkan diantaranya telah menemui kematian.

Mereka menaiki kapal Mavi Marmara dengan sebuah niat. Niat tulus dengan kesadaran mendalam mereka, yang bertujuan ingin membuka blokade Israel terhadap rakyat Palestina di Gaza. Satu-satunya niat yang ada dibenak mereka, hanyalah ingin melihat rakyat Palestina di Gaza bisa bebas, dan mendapatkan akses untuk kehidupan mereka.

Para aktivis dan relawan sangat sadar, pasti akan menghadapi resiko yang akan diterima dari rezim Zionis-Israel, yang bertujuan ingin membunuh 1,5 juta Palestina di Gaza, secara perlahan. Rezim Zionis-Israel yang sudah mengidap paranoid itu, tak akan memberikan kesempatan dan toleransi kepada siapapun memasuki wilayah Gaza. Rakyat Palestina di Gaza sudah dianggap menjadi ancaman laten bagi rezim Zionis. Entitas bangsa Palestina yang sudah dilemahkan dan nyaris sudah tak berdaya itu, harus punah.

Mereka yang sudah melakukan pilihan untuk pergi ke Gaza dengan kapal Mavi Marmara, sesungguhnya memiliki sebuah misi, yang sangat mulia, bagi siapa saja. Mereka hanya lah ingin menyelamatkan kemanusiaan, yang menghadapi ancaman kehancuran, akibat tindakan yang bersifat rasis, ideologis, yang penuh dengan prasangka.

Israel terus mengkampanyekan bahwa Hamas sebagai kelompok ideologis, yang lekat dengan teroris,dan mengusung teror, yang membawa kematian. Faktanya semua dibantah oleh episode perjalanan sejarah perjuangan rakyat Palestina, terutam di Gaza.

Rakyat Palestina di Gaza telah mengalami sebuah tranformasi perjuangan, yang terus bergerak dengan sangat alamiah. Satu-satunya yang tidak mau berkompromi dan berubah adalah sikapnya terhadap Israel. Di mana Hamas tidak mau mengakui keberadaan Israel. Karena sejatinya Israel adalah penjajah yang telah menganeksasi tanah-tanah rakyat Palestina.

Penjajahan dan aneksasi yang menjadi kebijakan rezim Zionis-Israel, tak pernah berhenti dan terus bertambah keras menghadapi rakyat Palestina. Setiap hari masyarakat dunia hanya mendapatkan suguhan berupa tontonan kematian demi kematian rakyat Palestina oleh pasukan Israel (IDF). Kematian itu seperti sudah menjadi kelaziman bagi rakyat Palestina.

Rezim Zionis-Israel juga mengusir dan merampas tanah-tanah rakyat Palestina, dan kemudian menjadi bangunan pemukiman Yahudi. Orang-orang Arab Palestina, banyak diantara mereka yang menjadi gelandangan, dan melarikan diri ke negara tentangganya menjadi pengungsi. Sungguh sangat menyedihkan.

Sejak Israel melakukan invasi militer ke Gaza Desember 2008, yang lalu, menyebabkan ribuan orang tewas, dan ribuan lainnya yang luka-luka, serta hancurnya sarana hidup di Gaza, dan masih menanggung blokade dan isolasi, sepertinya sudah tidak masuk akal, atau diluar kemampuan akal manusia.

Kehadiran para relawan internasional yang ingin masuk Gaza dan membebaskan dari blokade Israel, hanyalah sebuah ‘conmon sense’ (akal sehat), yang tidak mungkin membiarkan sebuah kebiadaban yang tidak beradab di muka bumi terus berlangsung. Kebetulan sekarang menimpa rakyat Palestina di Gaza. Tidak mungkin lagi membiarkan sebuah negara (Israel) memperlakukan tindakan yang tidak berperikemanusiaan atas warga Palestina berlangsung secara permanen.

Dosa apakah yang dilakukan oleh rakyat Palestina di Gaza, yang sekarang dibawah Hamas? Dosa apakah yang dilakukan oleh Hamas? Di mana rezim Zionis-Israel harus menghukum rakyat Palesttina secara kolektif? Kalau Hamas menyerang Israel, berapa korban yang tewas dan luka-luka di pihak Israel? Bandingkan dengan agresi Israel, yang berulang-ulang terhadap rakyat Palestina. Berapa banyak yang tewas? Berapa banyak pemimpin Palestina yang tewas di tangan penjajah Israel?

Berapa banyak rakyat Palestina tewas? Berapa banyak yang kehilangan sanak famili diantaranya mereka? Bagaimana penderitaaan mereka? Penderitaaan sejak Israel berdiri di tahun 1948. Sampai kini? Sudah tak terperikan lagi.

Bandingkan. Rakyat Afrika Selatan, yang pernah mengalami hidup dibawah sistem apartheid, dan sekarang mereka sudah menjadi bangsa yang berdaulat dan menikmati kebebasan. Sementara itu, rakyat Palestina terus menghadapi pengusiran, penangkapan, penculikan, pembunuhan dan perang, dan masih terus berlanjut.

Maka tidak layak para aktivis yang membawa misi kemanusiaan dengan kapal Mavi Marmara, bersedia di deportasi dan meninggalkan penjara Israel. Mereka harus memilih tetap tinggal di penjara Israel, sebagai bentuk moral obligasi (janji moral) mereka kepada rakyat Palestina di Gaza, yang sudah lebih lama menghadapi penderitaan.

Mereka seharusnya hanya akan keluar dari penjara Israel, kalau Israel sudah membuka blokade dan membebaskan rakyat Palestina dari sebuah penjajahan. Penderitaan rakyat Palestina sudah sangat panjang. Darah, air mata, serta kematian selalu menyertai mereka. Kesertaan para relawan kemanusiaan bersama rakyat Palestina di penjara-penjara Israel jauh lebih mulia, atau kematian sekalipun di tangan Israel.

Hanya kasadaran para aktivis kemanusiaan, dan niat yang tulus, dan tujuan yang memang ingin membebaskan rakyat Palestina, yang bakal menentukan sikap mereka untuk tetap bersama rakyat Palestina. Semoga. Wallahu’alam. Sumber: Era Muslim [Heru Cahyono]