Sabtu, 05 Juni 2010

Gerakan Mahasiswa

Sekali Lagi, Tentang Mahasiswa dan Gerakannya
Oleh: Khelmy K. Pribadi*

“We the people fight for our existence. We don’t claim to be perfect but we’re free”
(Little by little, Heathen Chemistry, Oasis, [2002])

Manakala membicarakan tentang Gerakan mahasiswa tentu-untuk generasi sekarang -akan sangat dibayangi fakta sejarah perjuangan mahasiswa pada Revolusi Mei’98. Dalam konteks Indonesia paling dekat adalah konteks waktu 1998 peran oposisi adhoc gerakan mahasiswa merupakan peran historis yang dipaksakan secara struktural oleh sebuah rezim orde baru yang menjalankan satu jenis fasisme baru yaitu fasisme pembangunan (developmental fascism). Peran ini menjadi permanen sepanjang sejarah rezim Orde baru-sampai saat ini-karena diberangusnya semua kekuatan oposisi formal (dalam kondisi demokrasi merupakan peran partai politik) dan ditundukkannya masyarakat sipil secara korporatis-fasistis., maupun melalui kekerasan terbuka. Ini menguatkan Thesa bahwa sebuah gerakan mahasiswa tidak akan lahir dalam situasi vakum. Artinya rahim gerakan mahasiswa adalah peristiwa kesejarahan yang memaksa gerakan ini lahir dan menjadi lokomotif sejarah yang secara aktif mewarnai sejarah. Maka ruang kesejarahan ini sangatlah kontekstual dan sangat tidak sama antara satu zaman dengan zaman yang lain.
Namun bukan rahasia lagi manakala mahasiswa dengan gerakannya di era reformasi, belum bisa menyingkirkan antek orde baru dari pusaran kekuasaan. Menurut Sebastian de Grazia (1966 : 72-74), kondisi seperti ini secara cepat atau lambat, otomatis akan menimbulkan suatu situasi anomie yang kuat di dalam kehidupan ber-Masyarakat, ber-Bangsa dan ber-Negara, yang pada akhirnya akan berdampak buruk bagi kesejahteraan mayoritas rakyat.

Dalam sosiologi pengetahuan, kaum intelektual dimasukkan sebagai kelas sosial baru (The new class) yang menguasai ilmu pengetahuan. Bagi kelas sosial baru ini, pengetahuan merupakan kapital budaya (cultural capital). Relasi-relasi kepentingan mampu mengarahkan dan membentuk cultural capital tersebut menjadi kapital uang atau kapital politik.
Istilah politik dalam tulisan ini dipahami sesuai dengan konsep berpikirnya Antonio Gramsci, sehingga di sini politik didefinisikan sebagai aktivitas pokok manusia dimana manusia dapat mengembangkan kapasitas dan potensi dirinya. (Roger Simon, 1999 : 136).
Jika definisi di atas diejawantahkan dalam bentuk aksi, maka mahasiswa dapat berpolitik dalam dua pengertian, yakni : Pertama, berpolitik dalam arti konsep (Concept). Disini mahasiswa secara individual maupun kelompok, harus mengajukan gagasan, pikiran, solusi atau interpretasi mengenai apa yang menjadi kehendak dari mayoritas rakyat. Kedua, berpolitik dalam arti kebijakan (Belied). Di sini mahasiswa sebagai kelompok harus menjadi Pressure Groups yang memperjuangkan aspirasi rakyat, dengan cara memengaruhi orang-orang yang memegang kebijakan ataupun yang menjalankan kekuasaan, dari luar sistem kekuasaan.
Apabila mahasiswa berpolitik dalam artian yang pertama, maka mahasiswa dituntut untuk benar-benar memahami cara berpikir ilmiah, yaitu teratur dan sistematik. Sedangkan apabila mahasiswa berpolitik dalam arti kebijakan (Belied), maka mahasiswa harus betul-betul mengetahui posisi individu dalam kehidupan ber-Negara, posisi konstitusi dalam kehidupan ber-Negara, posisi Negara dalam menjalin relasi dengan warganya, konstelasi politik terkini dan menguasai manajemen aksi. Pada tataran ideal, mahasiswa seharusnya berpolitik dalam arti konsep (Concept) maupun dalam arti kebijakan (Belied) secara bersamaan. Ini berarti, mahasiswa harus berpolitik sebagai politisi ekstra perlementer.

Gerakan Moral VS Gerakan Politik

Dari penjelasan di atas, kita bisa memahami bahwa kondisi subyektif dan kondisi obyektif secara signifikan kemudian membentuk watak gerakan mahasiswa. Secara sederhana, sebuah gerakan merupakan suatu proses untuk mencapai perubahan jangka panjang seperti yang dicita-citakan. Perubahan jangka panjang ini adalah perubahan yang visioner (esoterik), yakni perubahan untuk menciptakan tatanan masyarakat yang ideal. Dengan demikian, sebuah gerakan mahasiswa tidak hanya membutuhkan modal berupa keberanian di tingkat praksis (eksoterik), tetapi juga kecanggihan di tingkat wacana.
Pendekatan esoterik biasanya kita akan memasuki wilayah substantif, berupa kajian tentang substansi gerakan dan banyak bermain dalam dialektika wacana secara terus-menerus. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul biasanya adalah bagaimana sebuah orientasi perubahan dirumuskan, landasan teoritis dan ideologis apa yang melingkupi perubahan, serta tatanan perubahan masyarakat yang bagaimana yang diharapkan akan terwujud? Dalam konteks ini, maka kekuatan wacana dengan visi yang jelas merupakan modal yang sangat berharga dalam merumuskan orientasi perubahan.
Sementara pendekatan eksoterik, membuat kita memasuki wilayah praksis gerakan. Ia akan berproses dalam persoalan strategi gerakan dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: bagaimana melakukan sebuah perubahan, cara apa yang diperlukan untuk mencapai tujuan perubahan yang dimaksud? Jawaban-jawaban terhadap pertanyaan ini tersebut tentu saja kemudian terumuskan dalam wilayah strategis taktis sebuah gerakan.

Dari pendekatan di atas, maka kita akan bisa melihat bahwa gerakan mahasiswa akan terpola dalam dua pola besar yang untuk sederhananya kita bagi menjadi dua, yakni gerakan moral dan gerakan politik. Gerakan moral (moral force) biasanya dipersepsikan sebagai sebuah gerakan yang memihak pada nilai-nilai moral universal, yakni nilai kebenaran, keadilan, demokratisasi, hak azasi manusia, dan sebagainya. Sebuah gerakan moral biasanya tidak masuk dalam wilayah kepentingan politik praktis dengan saling dukung-mendukung terhadap kekuatan kelompok tertentu (power block). Mereka hanya mendukung kepentingan nilai yang menurut mereka bagus. Dengan demikian, kalau misalnya sebuah partai politik (parpol) mengedepankan nilai-nilai keadilan, demokratisasi, HAM, dan sebagainya, maka mereka akan mendukungnya dalam arti untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut, bukan mendukung kekuatan parpol secara politis. Sebaliknya, kalau ternyata parpol tersebut tidak lagi memperjuangkan nilai-nilai dengan standar moralitas yang dimaksud, maka sebuah gerakan moral akan menarik dukungannya, bahkan melawannya. Jadi, ringkasnya sebuah gerakan moral adalah gerakan yang mendukung untuk memperjuangkan nilai-nilai dengan ukuran moralitas tertentu. Disinilah independensi gerakan mahasiswa akan terlihat. Mahasiswa bukan subordinat kekuatan politik tertentu.
Sementara gerakan politik merupakan gerakan untuk melakukan perubahan politik dengan berpihak pada kekuatan politik tertentu, atau menjadikan dirinya sebagai lokomotif politik mahasiswa. Mereka tidak alergi untuk melakukan sharing dan lobi-lobi politik dengan kekuatan politik yang ada. Bagi mereka hal ini perlu dilakukan sebagai strategi untuk mencapai perubahan. Mereka mengkritik gerakan moral sebagai ketakutan untuk bersentuhan dengan kepentingan politik, dan hanya mampu melakukan himbauan moral. Keberpihakan pada kekuatan politik tertentu secara riel tidak apa-apa, sepanjang ide-ide perubahan yang diperjuangkan mahasiswa sejalan dengan mereka. Dalam kondisi tertentu dan dibutuhkan, organisasi mahasiswa bahkan berubah menjadi organisasi politik seperti yang pernah dilakukan mahasiswa Indonesia di Belanda pada 1908 dengan mendirikan Perhimpunan Indonesia.
Sosiolog Arief Budiman bahkan mengkritik gerakan moral dengan mengistilahkannya sebagai “koboi”. Ia datang ketika ada kerusuhan dan kekacauan yang dilakukan oleh para penjahat di suatu daerah. Setelah para penjahat dibasmi dan keadaan kembali tenang, maka sang koboi pun pergi lagi mengembara kemana-mana. Demikian seterusnya setiap ada kekacauan, sang koboi datang dan pergi lagi.

Dari kedua konteks di atas, maka seyogiayanya gerakan mahasiswa membutuhkan pola-pola gerakan yang bervariasi. Kecenderungan pada kutup ekstrim tertentu antara gerakan moral dan gerakan politik justru akan mereduksi peran gerakan itu sendiri. Karena itu, apapun penjelasannya, kedua pola tersebut tetap dibutuhkan. Yang penting tetap mampu memberikan nuansa dalam proses perubahan yang visioner dan esoterik. Dengan kata lain, mengutamakan salah satu pola (gerakan politik maupun gerakan moral) akan berujung pada kegagalan analitik untuk merumuskan strategi gerakan dalam mencapai orientasi perubahan. Dalam bahasa yang lebih lunak kaum intelektual (baca; Mahasiswa) harus melakukan gerakan empowering terhadap individu dan kelompok-kelompok kepentingan dengan tetap melakukan oposisi terhadap domain-domain publik.

*Mantan pengurus Jurnal Al Ma’arij IMM Ki Bagus Hadikusumo UNS sekarang aktif sebagai Liaison Program pada Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial (PSB PS) Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Tidak ada komentar: