Rabu, 28 Oktober 2009

Sumpah Pemuda ; "Mendjoendjoeng" Bahasa Indonesia dengan Bahasa Daerah

Oleh : Heru Cahyono

Kekayaan Indonesia tidak hanya mencakup tanah-sungainya, gunung-lautnya, dan lembah-hutannya, tetapi juga meliputi suku tentu sekaligus bahasa masing-masing suku yang begitu beragam.

Namun, sepandai-pandai menjaga kekayaan, bakal tergerus juga, bahkan bisa-bisa menuju kemiskinan. Nah, bayangkan kalau si empunya kekayaan sama sekali tak pandai menjaganya, tak tulus merawat dan menumbuhkembangkannya?

Seiring perputaran masa, jumlah bahasa daerah di Indonesia kian menyusut. Menyusut karena penuturnya terus berkurang, karena yang mewarisi bahasa daerah terlibat jauh pada peristiwa modernisasi. Tentu arus modern, mau tak mau, secara sistimatis akan mencuci keindonesian seseorang, seterusnya keindonesiaan Indonesia. Termasuk keindonesiaan bahasa yang digunakan.

Ya, penjajahan bahasa asing terhadap bahasa Indonesia kerap dituding telah menggoyahkan pondasi keindonesiaan bahasa nasional. Bermukimnya bahasa asing baik secara sah maupun tidak sah di dalam bahasa Indonesia tidak dapat dihindari. Bukankah bahasa Indonesia diposisikan sebagai bahasa yang tumbuh dan berkembang, dinamis dan lapang dada?

Agaknya, mengabaikan bahasa asing, terutama bahasa Inggris adalah sebuah kemustahilan. Apalagi bahasa Indonesia tidak duduk di kasta tertinggi pada pergaulan bahasa Internasional. Namun, tidak serta-merta bahasa Indonesia harus menjadi bahasa yang senantiasa menadahkan tangan. Selektif mengutip bahasa asing menjadi pilihan yang paling aman. Meskipun tidak mudah menyeleksi bahasa asing yang menerjang bagai air bah.

Nah, salah satu cara dari sedikit cara untuk memperlambat laju pasokan bahasa asing, ya, dengan memberdayakan khazanah bahasa daerah yang hidup di Indonesia. Selain berfaedah merawat keindonesiaan bahasa Indonesia, juga berguna untuk mencegah kepunahan bahasa daerah. Sekali petik, dua tiga tangkai bunga pindah ke tangan!

Ketergantungan terhadap Asing

Tindakan ini pun semata memperlambat eksodus bahasa asing ke ranah bahasa Indonesia. Tidak mungkin memutus sama sekali. Mengapa demikian? Banyak konsep pada kosakata bahasa asing yang tidak tersedia dalam bahasa Indonesia. Dengan kata laina, konsep pada kosakata bahasa daerah tidak sepenuhnya mampu mewakili kosakata dan istilah modern, yang tentu banyak terbit dari bahasa asing.

Maka tidak perlu heran jika ‘bantuan’ bahasa asing terhadap bahasa Indonesia lebih semarak ketimbang sumbangan bahasa daerah. Untung negara lain tidak pernah memperkarakan bangsa Indonesia yang banyak memungut kosakata mereka. Sejatinya, Indonesia memang pemungut aktif bahasa asing, baik bulat-bulat maupun lewat proses penyerapan. Alif Danya Munsyi, yang tak lain adalah Remy Silado pernah menulis sebuah buku berjudul "9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah Asing".

Fakta ini membuktikan bahwa sejak lampau, bahasa Indonesia disesaki bahasa asing. Sayangnya, banyak pengguna bahasa tidak memakai bahasa asing yang sesungguhnya telah diformat ke dalam bahasa Indonesia. Kenyataan ini diperparah oleh ketergantungan pengguna bahasa terhadap bahasa asing sekaligus keengganan menggunakan bahasa daerah, meski telah diamini kamus.

Bahasa Daerah Disyukuri

Maka, kita patut bersyukur kalau masih ada masyarakat yang mempertahankan pemakaian bahasa daerah dalam kondisi tertentu. Bahasa daerah (masing-masing) termasuk perangkat yang diusung kelompok-kelompok masyarakat yang berlandaskan kesukuan. Memang, ada penilaian yang keliru terhadap kelompok masyarakat yang masih setia menggunakan bahasa daerah. Padahal, ritual-ritual adat, khususnya upacara perkawinan tidak hanya berguna untuk melestarikan budaya, tetapi juga memperpanjang usia ciri keindonesiaan dalam kosakata bahasa Indonesia.

Sungguh, sebuah kebahagiaan tatkala Sultan Hamengku Buwono X berancang mewajibkan setiap pegawai di lingkungan Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta serta kabupaten/kota berbahasa Jawa setiap hari tertentu. Memang, kebijakan ini tidak bisa ditiru mentah-mentah oleh daerah-daerah yang penduduknya dihuni oleh banyak suku (tidak ada suku yang mayoritas). Namun, semangat Sultan dalam melestarikan bahasa daerah patut direnungkan, dijabarkan dalam perilaku berbahasa.

Menjatuhkan beban untuk mendongkrak harkat dan martabat bahasa Indonesia ke pundak bahasa daerah memang bukan jalan keluar satu-satunya. Namun, menjadi siasat alternatif untuk mempertahankan harga diri bahasa Indonsia dari ‘kebuasan’ bahasa asing. Betapa hina jika tak mengikutsertakan bahasa daerah dalam menegakkan kewibawaan bahasa Indonesia.

Pula, bukankah hal ini menjadi modal penting untuk mewujudkan salah satu amanat yang tercantum dalam Sumpah Pemuda: kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatuan bahasa Indonesia?

Rabu, 07 Oktober 2009

Menjelang Satu Abad: Pendidikan Muhammadiyah (masih) Miskin Leadership Skill

Oleh: David Efendi)*

“Pelajar hari ini, pemimpin masa depan”

Seorang Guru saya di SMP Muhammadiyah 8 Godog, Bapak Kyai Shodiq Abdullah. sekolah kami di desa kecil di antara bengawan solo dan Pantai utara Lamongan. beliau selalu dan selalu menyampaikan kata-kata tersebut diatas secara berulang-ulang layaknya KHA Dahlan menyampaikan al-Maun kepada muridnya sampai berkali-kali. Artinya, pendididikan kepemimpinan bagi guru tersebut sangat penting. Tidak hanya bagi guru tersebut tapi untuk masa depan peradaban, bangsa, dan persyarikatan ini. Tapi lambat laun, semakin sedikit yang menyadari hal ini.

Sebagai orang yang pernah mendapatkan pendidikan di bangku sekolah Muhammadiyah di pedalaman alias sekolah Muhammadiyah kampungan tentu ada kebanggaan ketika penulis menginjakkan kaki di pusat peradaban Muhammadiyah, Yogyakarta yang bisa menyaksikan ratusan sekolah Muhammadiyah yang megah, standar internasional, yang bisa dikatakan sebagai centre of exellance dari wajah Muhammadiyah yang selama ini penulis melihat bergaya kampungan di desa saya. Di balik kebanggaan tentu kemudian muncul berbagai pertanyaan yang janggal, muncul kegelisahan, dan kritik bahwa kemajuan itu Nampak indah dari luar dan Nampak kacau dari dalam karena mahal, ekslusif, tidak merakyat, dan miskin skill kepemimpinan. Semua bisa berubah, begitu juga wajah pendidikan Muhammadiyah. Apa yang tidak bisa berubah?

Pada awalnya tulisan ini berjudul Robohnya sekolah Muhammadiyah, akan tetapi kenyataanya kan bukan hanya sekolah Muhammadiyah yang roboh, sekolah Negara banyak juga yang roboh dan bubar (dimerger). Sehingga tulisan ini berganti haluan dan judul untuk men

gambil salah satu engel dari begitu banyak hal yang pantas di soroti untuk tidak tergesa-gesa mengatakan everything is broken. Sebagaimana yang pernah ditulis oleh pendidikan rusak-rusakan. Begitu juga beberapa tulisan yang menusuk sebuah penyelenggara lembaga pendidikan, yaitu sebuah makalah yang layak direnungkan yang ditulis Eko Prasetyo: beruntung aku tidak sekolah di Muhammadiyah. Apa alasannya, tentu salah satunya adalah mahal dan tidak ‘membebaskan. Dalam bahasa lain bisa dikatakan memiskinkan dan bukan ’memberdayakan’.

Selain pendidikan di Muhammadiyah kekurangan pelaku pendidikan (guru) yang bisa membangkitkan motivasi (m

otivator) bagi siswanya (warga belajar), sekolah Muhammadiyah juga miskin inpirator dan kreator. Guru tidak hanya tidak lagi digugu dan ditiru tapi nyaris tidak ada yang namanya guru inspiratif, pendidik yang mampu mendorong secara tidak langsng bagi murid-muridnya untuk memacu semangat dan karya kreatifnya untuk meraih mimpinya. Film atau novel laskar pelangi bisa menjadi lonceng kematian bagi pendidik inspiratif di Muhammadiyah. Meski ini asumsi akan tetapi bisa menjadi perhatian bagi pelaku pendidikan Muhammadiyah untuk menjadi dan menghasilkan guru yang kreatif dan inspiratif bagi warga belajarnya. Guru zaman ini dan yang akan datang, tidak mungkin hanya berfungsi sebagai transfer ilmu pengetahuan, hanya menjadi sumur yang kering karena ilmu pengetahuan bisa didapatkan jauh lebih besar tanpa melalui perantara guru. Guru di lingkungan M

uhammadiyah sangat besar jumlahnya, apa tidak ada yang bisa menjadi inspirasi? Bagaimana menjadi guru yang inspiratif?

Menjadi pendidik yang inspiratif dan mampu memotivasi siswa didiknya bisa dilatih, bisa diciptakan, tentu dengan kerja keras, mulai dari kesungguhan guru untuk menjadi teladan bagi keluarga, siswa, dan masyarakat serta kesungguhan untuk terus berkarya dan berkarya agar tidak hanya jualan jamu di depan siswa dan masyarakatnya. Guru selain mengajar harus juga belajar, selain memberi seabrek tugas bagi muridnya, juga memberikan tugas yang setimpal bagi dirinya agar tidak masuk dalam golongan NATO (guru yang no action, talk only). Yang tentu ke depan guru yang demikian akan ditinggalkan oleh para pencari ilmu).

Sebagai kritik yang membangun. Satu hal yang penulis ingin sampaikan adalah tentang miskinnya dan fakirnya keterampilan menjadi pemimpin (leadership skill) di kalangan guru dan pendidikan di lingkungan sekolah Muhammadiyah. Dari sekian jumlah guru Muhammadiyah se-Indonesia ada berapa yang benar-benar menjadi pemimpin, ada berapa yang berusaha menjadi pemimpin, menjadi aktivis persyarikatan, ada berapa yang ikut Muhammadiyah untuk formalitas dan ceremonial, ada berapa yang oportunis, ada berapa yang hanya mencari nafkah di sekolah Muhammadiyah? Ini pertanyaan berat dan tidak akan pernah selesai dijawab. Dan banyak guru Muhammadiyah yang loyalitasnya terhadap persyarikatan nomor buncit. Kesetiaan kepada Muhammadiyah diletakka setelah kesetiaan kepada status PNSnya, partai politiknya, dan organisasi lainnya.

Kenapa miskin leadership?

Ada beberapa penyebab. Pertama, Orientasi sekolah muhammadiyah memang kebanyakan tidak untuk menjadi pemimpin sebagaimana maksud pendidikan Muhammadiyah. Banyak pengelola pendidikan di Muhamamdiyah yang mengarakan sekolahnya untuk memenuhi permintaan lapangan pekerjaan, atau untuk menawarkan tenaga kerja, dan atau untuk mendapatkan pekerjaan yang layak kelak nanti. Kepemimpinan menjadi sesuatu yang bukan utama, pendidikan inilah yang kemudian tidak memberdayakan, bahkan malah meninahbobokkan. Semnatara pendidikan kepemimpinan mampu memberikan harapan akan tercapainya pencerahan peradaban dan terwujudnya babak baru yaitu peradaban utama menjelang satu abad umur Muhammadiyah. Kedua, pendidik atau guru bukanlah aktivis atau orang yang terlibat dalam kepemimpinan atau pernah terlibat dalam organisasi sehingga pendidik yang golongan ini hanya berfikir mengajar dan mengajar, masa depan di tangan tuhan dan tergantung nasib. Agak fatalistik, naif bahkan magic. Ini guru Muhammadiyah tapi tidak mengamalkan ’ajaran’ Muhammadiyah. Seorang sahabat bilang, di lingkungan Muhammadiyah guru yang alumni AMM akan jauh lebih progresif mendidik siswanya dan rata-rata guru alumni AMM ini sudah khatam membaca buku-buku saudara Eko Prasetyo seperti: mendidikan itu melawan, Orang Miskin dilarang sekolah, dan sebagainya. Ini ke depan bisa diwajibkan untuk guru Muhammadiyah.

Kalau sekolah Muhammadiyah saja miskin leadership skill, sehari penuh di sekolah hanya untuk mempelajari matematika, mengeja a b c d dan seterusnya apa yang akan dibanggakan dari sekolah Muhammadiyah? . Kepemimpinan tidak diajarkan secara sungguh-sungguh keterampilan dan pentingnya pembelajaran tentang kepemimpinan lalu siapa yang akan mengisi Muhammadiyah, siapa yang berminat kembali ke Muhammadiyah setelah menjalani pendidikan, siapa yang mau pulang kampung untuk mengurus rantingMuhammadiyah yang mati suri. Siapa?

Ketiga, Ada organisasi pelajar Muhamamdiyah bernama IPM yang masih(sedang) berjuang untuk mendapatkan pengakuan sekolah, yang masih sering tidak didukung oleh stake holder sekolah Muhammadiyah masih sering dipandang dengan mata sebelah. Ini menunjukkan bahwa kepemimpinan, pembelajaran menjadi pemimpin dna organisasi bukan hal yang urgent di sekolah. Ini juga merupakan kegagalan kita melihat zaman secara komprehensif dan futuristik bahwa ke depan pemimpin-pemimpinla h yang akan menentukan wajah Muhammadiyah dan rupa negeri ini. Tanpa pendidikan kepemimpinan yang sistematik, terprogram, integral dan terencana dengan baik di sekolah Muhammadiyah, tanpa itikad dan kerja keras mulai dari sekarang, peradaban utama itu masih jauh panggang dari api, masih mimpi di siang bolong. Tanpa pendidikan kepemimpinan, Muhammadiyah bukanlah apa-apa! Cepat atau lambat.

Kalah dari Google, Yahoo kebakaran Jenggot !!


Pusatgratis - Raksasa Internet, Google memang begitu hebat dan ditakuti. Hingga pemain lama di dunia internet sekelas Yahoo pun harus kebakaran jenggot karena semakin lama semakin kalah populer dan kalah inovasi dibandingkan dengan Google.

Kabarnya, Yahoo akan mati – matian mempromosikan brand dan produk – produknya hingga rela menghabiskan dana hingga 100 juta dollar Amerika. Carol Bartz, CEO Yahoo mengatakan bahwa dana tersebut akan dihabiskan secara agresif untuk mempromosikan brand dan produk – produk unggulan milik Yahoo.

Hal ini dikabarkan karena semakin kalahnya popularitas Yahoo dari Google, mulai dari produk, layanan hingga inovasi yang semakin tertinggal.

Yahoo ingin kembali menjadi pusat dari setiap aktivitas online pengguna internet, yang saat ini memang pusat aktivitas online masih dipegang oleh Google.

Yahoo secara khusus ingin mempromosikan dan mempopulerkan kembali layanan emailnya, social network terbarunya, serta search engine andalannya yang kini mulai ditinggalkan pengguna internet di seluruh dunia.

Tidaklah mengherankan jika Yahoo kebakaran Jenggot dan rela mengeluarkan hingga 100 Juta Dolar amerika untuk mempromosikan brand dan produknya karena kalah dari google. Kita tahu sendiri saat ini memang google memegang peranan central di dunia online.

Google saat ini benar – benar menjadi salah satu pusat kegiatan online di Internet, dengan berbagai layanan serta inovasinya. Berapa ratus juta orang setiap hari yang mengakses blog berbasis blogspot, mengakses email berbasis gmail, mencari informasi dari search engine google, bahkan browsing menggunakan browser Google Chrome.

Apalagi masih banyak layanan Google terbaru yang semakin menunjukkan dominasi kekuatannya, yang perlahan – lahan memperkecil dominasi Yahoo dari dunia maya. Sebut saja prototype produk terbaru nya Google Flip, ATM buku nya, serta beberapa update yang gencar dan rajin dilakukan oleh Google. Yahoo pun semakin khawatir terbenam di dunia internet, dunia yang pernah dikuasainya beberapa tahun silam.

Sejarah Google : Dari Sebuah Garasi hingga ke Seluruh Dunia

Pusatgratis – Hari ini siapa yang tidak mengenal Google? Raksasa Internet yang satu ini lambat laun semakin populer di dunia internet dan semakin jauh meninggalkan pesaing – pesaingya. Dengan kurang lebih 20000 pekerja full time saat ini, Google selalu mengeluarkan inovasi dan produk baru yang semakin lama semakin sulit tersaingi oleh kompetitornya.

Saat ini Google merupakan perusahaan besar di Amerika dengan penghasilan sekitar $21 Milyar di tahun 2008 dan ditargetkan mencapai $40 Milyar di tahun 2009 ini.Penghasilan sebesar itu 99,9% diperoleh dari periklanan yang tersebar hampir di semua aspek dunia maya. Google yang mempunyai misi awal untuk “menyatukan semua informasi dari seluruh dunia dan membuatnya mudah diakses serta berguna” ini memang kini memang menjadi “bintang” di dunia internet.

Namun siapa sangka raksasa dan bintang internet itu berasal dari garasi salah seorang teman dua pemuda dan dimulai pada Januari 1996. Pada saat itu sebuah penelitian dilakukan oleh Larry Page dan bekerja sama dengan Sergey Brin ketika mereka berdua masih mahasiswa PhD di Stanford University, California. Mereka berkesimpulan bahwa mesin pencari yang menganalisa hubungan antar website menghasilkan hasil ranking yang lebih baik daripada search engine dengan metode yang ada saat itu.

Akhirnya mereka berdua membuat search engine dengan nama “BackRub” karena memiliki sistem yang melakukan pengecekan backlink untuk memperkirakan tingkat penting tidaknya sebuah situs. Pada saat itu sebuah Search Engine kecil bernama Rankdex juga sedang melakukan penyelidikan yang sama.

Berdasarkan logika bahwa halaman dengan banyak link mengarah ke halaman tersebut adalah halaman yang penting d

an relevan, maka Larry Page dan Sergey Brin melakukan pengujian dan menjadikan thesis mereka sebagai penelitian untuk search engine mereka. Akhirnya search engine buatan mereka digunakan oleh Stanford University di google.stanford.edu. Dan domain google.com diregistrasikan pada 15 september 1997 dan menjadi perusahaan Google Inc.

Pada 4 September 1998, Google yang pada saat itu masih berkantor di Garasi milik salah seorang teman Larry Page dan Sergey Grin sudah mencapai investasi hingga $1,1 juta, termasuk $100,000 dari Andy Bechtolsheim, salah satu penemu Sun Microsystems. Google baru berpindah kantor pada maret 1999 ke Palo Alto. Sejak sat itu google terus berkembang dan terus memperoleh banyak kunjungan ke search enginenya karena desain yang simple dan hasil pencarian yang bagus.

Server Pertama Milik Google


Pada tahun 2000 kahirnya Google mulai membuka jalur periklanan berdasarkan keywords, yaitu Google Adwords. Pada 4 September 2001 Google juga mematenkan sebuah sistem perankingan hasil pencarian yang saat ini populer disebut PageRank. Kesuksesan Google terus melejit dengan semakin banyaknya inovasi serta service yang bermanfaat bagi pengguna internet. Hal itu sempat membuat banyak raksasa internet lainnya seperti Yahoo, bahkan Microsoft menjadi khawatir. Bahkan sampai saat ini pun Google tetap berinovasi dengan akan meluncurkan berbagai Produk baru seperti Google Flip serta selalu mengupdate dan mengembangkan produk lamanya seperti Picasa dan Google Chrome. Bahkan Google juga rajin menyempurnakan dan melengkapi berbagai fitur produknya seperti Google Translate yang kini widgetnya bisa dipasang di semua halaman situs.

Nama Google sendiri sebenarnya adalah plesetan dari kata Googol yang berarti 10 pangkat 100, yang berarti angka 1 dan diikuti seratus angka nol yang dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa di Google ada banyak sekali informasi yang hampir “tak terhitung” banyaknya.

Selasa, 06 Oktober 2009

Letaknya Taqwa


Alloh SWT berfirman :

"Hai orang orang yang beriman, bertaqwalah kepada Alloh dengan sebenar benar taqwa kepadaNya, dan janganlah sekali kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam."

"Dan berpeganglah kamu semua kepada tali (agama) Alloh, dan janganlah kamu bercerai berai dan ingatlah akan nikmat Alloh kepadamu ketika dahulu (masa jahiliyah) bermusuh musuhan, maka Alloh menjinakkan antara hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Alloh orang orang yang bersaudara, dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Alloh menyelamatkan kamu daripadanya. Dengan demikian Alloh menerangkan ayat ayatNya kepadamu, agar kamu mendapatkan petunjuk."

"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kepada yang mungkar, merekalah orang orang yang beruntung."

"Dan janganlah kamu menyerupai orang orang yang bercerai berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. mereka itulah orang orang yang mendapat siksa yang berat. (QS. Ali Imraan : 102 - 105)

Taqwallah letaknya hanya di dalam dada, maksudnya dalam hati tiap tiap manusia, bukan didalam ucapan yang keluar dari bibir yang tidak bertulang, bukan pula dengan pernyataan tertulis dalam majalah dan koran, bukan dengan kata kata yang hanya kosong melompong, tidak pula dengan jalan didiktekan oleh yang menyumpah lalu ditirukan oleh yang disumpah sewaktu akan menerima suatu jabatan, tinggi ataupun rendah, atau hanya di gembar gemborkan lewat podium. Bukan disitu tempatnya, tetapi dalam perasaan yang tersimpan dalam hati, terpendam rapat, terkunci dalam dada. Tidak perlu dikeluarkan atau diiklankan, tidak usah dipertontonkan dan dipropagandakan bahwa dirinya adalah manusia bertaqwallah.

Manakala taqwallah itu sudah benar benar menghujam di dalam hati, menjelma menjadi satu dengan darah daging, maka pasti akan diletuskan, diledakkan dan didentumkan oleh perbuatan dan tindakan yang nyata, bukan karena pamer, bukan ingin dipuji dan disanjung, tetapi semata mata karena keikhlasan yang meluap luap dalam kalbu, sebab mengharapkan keridhaan Alloh SWT.

Tidak mungkin agama Islam menyebar ke seluruh penjuru alam, dikenal kawan dan lawan disegenap persada permukaan bumi ini, andaikata tanpa rasa taqwallah yang tertanam benar benar dalam dada dan hati setiap muslim sejak dari jaman Nabi Muhammad SAW, dan sahabat sahabat dahulu hingga sampai pada zaman kita sekarang ini. Mustahil sekali masjid masjid itu dapat berdiri dengan megahnya dmana mana, kalau bukan disebabkan letusan taqwallah.

Sebaliknya, jika taqwallah ini dibuat buat, diada adakan, tetapi hati sebenarnya tidak menerima, enggan menyambut kedatangannya dengan gembira, bahkan menolak. Ini tidak lain sebabnya hanyalah karena bukan taqwallah yang sebenar benarnya yang ada dalam kalbu, tetapi taqwallah yang hanya diucapkan dalam bibir dan dilafadzkan oleh lisan belaka. Malah taqwallah yang demikian akan menimbulkan kemungkaran dan kejahatan makin merajalela, bertambah luas penyebarannya.

Abu Hurairah ra. telah berkata: " Saya telah mendengar Rasululloh SAW. bersabda yang artinya :

"Tujuh macam orang yang akan dinaungi di bawah naunagn Alloh pada hari tiada naungan kecuali hanya naungan Alloh yaitu :

Imam (pemimpin) yang adil

Pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Alloh

Dua orang saling cinta mencintai karena Alloh

Seorang laki laki yang dirayu oleh wanita cantik, lalu dia berkata: "Sesungguhnya aku takut kepada Alloh."

Seorang yang sedekah dengan tangan kanannya dan disembunyikan dari tangan kirinya.

Seorang yang hatinya selalu ada dimasjid (yang menjaga benar sholat jamaah)

Seorang yang ingat kepada Alloh sendirian tiba tiba mencucurkan airmata (yakni karena ingat dosanya dan takut kepada Alloh).' (HR. Bukhari dan Muslim).

Abdullah bin Amr.ra berkata: "Jika saya mencucurkan setetes air mata karena takut kepada Alloh, maka yang demikian itu lebih baik bagiku daripada sedekah seribu dinar."

Ka'ab Ahbar berkata: "Demi Alloh yang jiwaku berada ditanganNya, jika aku menangis karena takut kepada Alloh hinga mengalir air mata atas pipiku, niscaya lebih baik bagiku daripada sedekah satu gunung emas."

Auf bin Abdullah berkata : "Saya mendapat keterangan bahwa airmata yang bercucuran karena takut kepada ALloh itu tiada menyentuh bagian tubuh melainkan itu diharamkan dari api neraka."

Muhammad bin Al Mundzir jika menangis karena takut kepada Alloh, maka ia menghapuskan airmata itu ke muka dan jenggotnya lalu berkata: "saya mendapat keterangan, bahwa api neraka tidak akan menyentuh tempat yang disentuh oleh airmata itu."

Bila seseorang telah benar benar bertaqwa kepada Alloh, maka sampailah orang tersebut kepada derajat yang tertinggi, bahkan ketaqwaannya itu akan lebih sempurna jika disertai dengan sikap mental yang terpuji menurut pandangan Alloh, sehingga dalam kehidupan sehari hari dapat melakukan hal hal sebagai berikut :

Selalu menuju kepada ampunan Alloh dalam arti bekerja dalam hidup ini selalu hanya mengharap ridho Alloh, bukan yang dilarang dan dimurkai.

Sanggup menahan diri dari segala macam amarah, sebab manusia yang dapat menahan diri dari sikap dan perbuatan yang didorong oleh amarahnya, maka akan menjadi orang yang berjiwa besar, terhormat dan disegani.

Suka berbuat baik, pemaaf , jujur, tidak dendam, tidak dengki dan sebagainya. Sehingga bila terpeleset melakukan dosa dosa, meskipun itu dosa dosa kecil, maka ia cepat cepat bertaubat kepada Alloh dan kembali kepada yang benar. maksudnya yang benar dan diridhoi Alloh SWT.

Dari sinilah orang yang bertaqwa benar benar kehadirat Alloh tersebut berhak meraih derajat yang paling mulia dan tinggi disisi Alloh, sebagaimana yang dijelaskan dalam surah Al Hujurat ayat 13, yaitu :

"Sesungguhnya orang orang yang paling mulia dihadapan ALloh adalah orang orang yang taqwa diantara kamu."

Jika kita mau merenungkan firman Alloh tersebut, maka jelas dan nyata. Bahwa orang yang paling mulia disisi Alloh adalah orang yang paling banyak taqwanya, bukan orang yang berharta, bertahta, bukan orang yang hidupnya bebas karena terpenuhinya segala kebutuhan dan kepuasannya. Orang yang taqwa itulah orang yang benar benar sanggup membuktikan dirinya sebagai orang yang patuh melaksanakan perintah perintah Alloh dan yang disenangi Alloh dan menjauhi larangan laranganNya dan segala yang dibenci Alloh sehingga mulialah kita di hadapan Alloh.

Sifat taqwa itu boleh dimisalkan seperti sumber mata air, yang terus menerus memancarkan air yang jernih tidak kering kering sepanjang masa. Dapat di ambil faedahnya oleh manusia untuk keperluan diri sendiri, seperti untuk minum, membersihkan badan, pakaian dan lain lainnya, juga memberikan manfat kepada kehidupan makhluk yang lain di alam semesta, misalnya mengairi sawah, menyuburkan tanam tanaman, menggerakkan kekuatan listrik dsb.

Laksana air jernih yang berfungsi memberikan kenikmatan dan kebahagiaan kepada makhluk, zatnya sendiri bersih dan dapat pula membersihkan benda yang lain.

Walllahu'alam bish showab

Alhamdu lillaahi robbil 'aalamiin

(dari buku Manisnya Taqwa : Imam Al Ghazali)

Minggu, 04 Oktober 2009

Riwayat Prof. Dr. H.A. Syafii Ma’arif


Guru besar Ilmu Sejarah ini dilahirkan di Sumpurkudus, Sumatera Barat, 31 Mei 1935. Sejak kecil Syafii Maarif memang sudah bergumul dengan pengetahuan tentang agama Islam. Hal itu berkat pendidikan dari almarhurn orangtuanya, Makrifah, dan juga dipertajam dengan pendidikan yang dijalani kemudian, yang akhirnya membentuk dirinya hidup secara kental dalam tradisi Islam.

Setamat dari Sekolah Rakyat Ibtidaiyah di Sumpurkudus pada tahun 1947, ia melanjutkan studinya ke Madrasah Mu'allimin Lintau, Sumatera Barat. Pendidikannya di Madrasah Mu'allimin Lintau tersebut kemudian dilanjutkan ke Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah di Yogyakarta sampai tamat pada tahun 1956.

Melanjutkan ke perguruan tinggi bukanlah hal yang mudah bagi Syafii Maarif setelah menamatkan studinya dari Madrasah Mu'allimin Yogyakarta, karena setelah kedua orangtuanya meninggal dunia pembeayaan untuk melanjutkan studinya nyaris terputus. "Saya terdampar di pantai karena belas kasihan ombak," katanya suatu saat mengilustrasikan perjalanan hidupnya dalam sebuah wawancara dengan reporter Majalah KUNTUM. Berkat bantuan dari saudaranya, Syafii Maarif akhirnya bisa melanjutkan studi di Fakultas Hukum Universitas Cokroaminoto Surakarta.

Baru satu tahun kuliah, pemberontakan PRRI/Permesta meletus dan menyebabkan terputusnya jalur hubungan Sumatera-Jawa. Dengan demikian, bantuan biaya kuliah dari saudaranya terputus, sehingga ia memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliah. Setelah putus kuliah, ia menyambung hidup sebagai guru desa di wilayah Kecamatan Baturetno, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.

Motivasi belajar yang dimiliki Syafi'i Ma'arif memang sangat tinggi. Sambil bekerja ia kembali melanjutkan kuliah di Jurusan Sejarah, karena ia tidak mungkin lagi kembali ke Fakultas Hukum. Gelar Sarjana Muda berhasil diraihnya dari Universitas Cokroaminoto pada tahun 1964, dan gelar Sarjananya diperoleh dari IKIP Yogyakarta pada tahun 1968.

Kepakarannya di bidang sejarah semakin teruji, setelah ia memperoleh gelar Master pada Departemen Sejarah Ohio State Universitas, Ameria Serikat. "Pilihan yang tak sengaja itu ternyata telah menuntun saya menemukan hikmah kemanusiaan," kata Syafii Maarif dalam sebuah wawancara dengan wartawan KOMPAS. Baginya, sejarah berbicara tentang kemanusiaan secara totalitas. Ini meru­pakan studi yang sangat menarik ten­tang manusia yang memang unik. Gelar Doktoralnya di peroleh pada tahun 1993 dari Universitas Chicago, Amerika Serikat, di Program Studi Bahasa dan Peradaban Timur Dekat.

"Sudah 25 tahun terakhir, perhatian terhadap sejarah, filsafat, dan agama melebihi perhatian saya terhadap cabang ilmu yang lain. Namun saya sadar sepenuhnya, bahwa semakin saya memasuki ketiga wilayah itu semakin tidak ada tepinya. Tidak jarang saya merasa sebagai orang asing di kawasan itu, kawasan yang seakan-akan tanpa batas. Terasalah kekecilan diri ini berhadapan dengan luas dan dalamnya lautan jelajah yang hendak dilayari." Kalimat yang rendah hati itu pernah diucapkannya pada pembuka Pidato Pengukuhan Guru Besarnya di IKIP Yogyakarta. "Rendah hati adalah refleksi dari iman," kata Syafii. "Orang semakin berisi biasanya semakin rendah hati. Bukan filsafat ilalang, semakin tinggi semakin liar tumbuhnya."

Syafii Maarif adalah figur ilmuwan yang selalu menempatkan kekuatan religi dalam setiap pergulatan dengan ilmunya. Ia sejarawan dan ahli filsafat, tetapi di tengah masyarakat (setidaknya masyarakat Yogyakarta) dia lebih dikenal sebagai seorang agamawan. "Tidaklah kamu diberi ilmu, kecuali sedikit saja," kata Syafii Maarif mengutip sebuah ayat suci Al Quran. Ini adalah nasehat untuk meredam ambisi dan rasa ingin tahu manusia untuk tidak melangkahi kawasan luar batas kemampuan manusia. Dalam pengertian itulah, maka ia yakin bahwa dalam setiap ilmu pengetahuan ada tanda-tanda keberadaan Tuhan. "Kita harus percaya pada realitas yang ada di luar jangkauan manusia," demikian ia menekankan. Alam semesta dan seluruh muatannya tidak bisa menjelaskan dirinya. Ia diam seribu bahasa mengenai asal-usul kejadian dan keberadaannya.

Hanya wahyu yang kemudian menolong otak manusia dan persepsinya guna memahami semua fenomena itu. Hanya lewat agama, manusia bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang tujuan eksistensi manusia dan tentang makna kematian. Filsafat, apalagi sejarah, tidak mampu melakukannya.

Membaca buku adalah kesibukan harian yang dilakukan Syafi'i Ma'arif, selain menjalankan aktivitasnya sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, anggota Dewan Pertimbangan Agung, dan staf pengajar di IKIP Yogyakarta. Tidak heran kalau dia fasih menyitir ungkapan yang berharga dari kalangan ilmuwan, dan juga kaya dengan ungkapan-ungkapan puitis yang bermakna cukup mendalam.

Keterlibatannya sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah merupakan sebuah keharusan sejarah. Ketika reformasi di Indonesia sedang bergulir, Amien Rais yang saat itu menjabat sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah harus banyak melibatkan diri dalam aktivitas politik di negeri ini untuk menjadi salah satu lokomotif pergerakan dalam menarik gerbong reformasi di Indonesia.

Muhammadiyah harus diselamatkan agar tidak terbawa oleh kepentingan-kepentingan jangka pendek. Pada saat itulah, ketika Muhammadiyah harus merelakan Amien Rais untuk menjadi pemimpin bangsa, maka Syafi'i Ma'arif menggantikannya sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Sebagai salah seorang Wakil Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, ia terpilih dan dikukuhkan sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah melalui Sidang Pleno Diperluas yang diselenggarakan Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Ia harus melanjutkan tongkat kepemimpinan Muhammadiyah sampai Muktamar Muhammadiyah ke-44 tahun 2000 di Jakarta.

Pada Muktamar ke-44 tahun 2000 ia dipilih kembali menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk periode masa jabatan 2000-2005. Setelah Muktamar ke-45 di Malang, jabatan Ketua PP Muhammadiyah berganti sebutan menjadi Ketua Umum. Pada muktamar tersebut terpilih Prof. Dr. Din Syamsuddin menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah, sedangkan Prof. Dr. A. Syafi'i Ma'arif menjadi Penasehat PP Muhammadiyah bersama Prof. Amien Rais, Prof. Drs. H. Asjmuni Abdurrahman,Prof. Dr. H. Ismail Sunny, S.H., MCL. dan Ustadz K. H Abdur Rahim Noor. M.A.

Riwayat Prof. Dr. H. M. Amien Rais


Tokoh Reformasi Indonesia ini dilahirkan di Surakarta, 26 April 1944. Orang tuanya sebenarnya menginginkannya menjadi kiai dan melanjutkan pendidikan di Mesir, sehingga pendidikan yang ditanamkan oleh orang tuanya sangat kental dengan nilai-nilai agama, baik di pendidikan dasar (SD Muhammadiyah I Surakarta) maupun di pendidikan menengah (SMP dan SMA).

Pendidikan tingkat sarjana diselesaikan oleh Amien Rais di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional FISIPOL Universitas Gadjah Mada pada tahun 1968, sementara ia juga menerima gelar Sarjana Muda dari Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 1969. Pada saat mahasiswa inilah ia banyak terlibat aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan, seperti Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (Ketua III Dewan Pimpinan Pusat IMM) dan Himpunan Mahasiswa Islam (Ketua Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam HMI Yogyakarta).

Studinya dilanjutkan pada tingkat Master di bidang Ilmu Politik di University of Notre Dame, Amerika Serikat, dan selesai pada tahun 1974. Dari universitas yang sama ia juga memperoleh Certificate on East-European Studies. Sementara itu, gelar Doktoralnya diperoleh dari Universitas Chicago, Amerika Serikat, pada tahun 1981 dengan disertasinya yang cukup terkenal, yaitu Gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Ia juga pernah mengikuti Post-Doctoral Program di George Washington University pada tahun 1986 dan di UCLA pada tahun 1988.

Perjalanan pendidikannya tersebut telah memberinya banyak pengalaman dan kemampuan kognitif-analitis, dan mengantarkannya menjadi salah seorang intelektual terkemuka di negeri ini, bahkan di berbagai belahan dunia yang lain. Tugas-tugas intelektualisme pun ia lakukan, baik transformasi keilmuan (mengajar di berbagai universitas) dan juga melakukan kritik atas fenomena sosial yang sedang berlangsung.

Kritiknya yang sangat vokal sangat mewarnai opini publik di Indonesia. Sepulangnya dari pendidikan di Amerika, ia terkenal sebagai pakar politik Timur Tengah, dan melontarkan kritik yang sangat tajam terhadap kebijakan politik luar negeri Amerika, sebuah negeri tempat ia sendiri belajar banyak tentang demokrasi dan hak asasi manusia. Kondisi politik dan perekonomian di Indonesia yang sudah mulai membusuk dan sangat tidak sehat bagi demokratisasi mendorong Amien Rais bersuara keras pada tahun 1993 (Tanwir Muhammadiyah di Surabaya) dengan isu suksesi kepresidenan, sebuah isu yang janggal pada saat itu karena kepemimpinan Orde Baru masih sangat kuat. Pembusukan politik dan ekonomi pada dasawarsa kedua tahun 1990-an mendorongnya kembali menggulirkan gagasan tentang suksesi, bahkan lebih luas lagi, yaitu reformasi politik di Indonesia. Berawal dari kasus Freeport dan Busang, ia mulai menggulirkan perubahan sosial yang mendasar di negeri ini. Bahkan, ia akhirnya menjadi orang terdepan dalam meruntuhkan kebobrokan politik Orde Baru.

Keterlibatannya di Pimpinan Pusat Muhammadiyah dimulai sejak Muktamar Muhammadiyah tahun 1985 di Surakarta sebagai Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Sementara pada Muktamar Muhammadiyah ke-42 tahun 1990 di Yogyakarta, ia terpilih sebagai Wakil Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Namun meninggalnya Azhar Basyir sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah kemudian mengantarkannya untuk menggantikan kepemimpinan dalam Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Muktamar Muhammadiyah ke-43 kembali mengamanatinya untuk menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Lagi-lagi, sejarah bangsa ini mengharuskannya meninggalkan jabatan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk melakukan sesuatu yang lebih besar lagi bagi ummat dan bangsa ini. Pada Sidang Pleno di Jakarta tahun 1998, Ia mengundurkan diri sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Riwayat KHA. Azhar Basyir, M.A.


Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode Azhar Basyir (1990-1995) didominasi oleh kaum intelektual produk Muhammadiyah. Hal ini barangkali merupakan representasi dari Ahmad Azhar Basyir sendiri yang menghabiskan masa studi formalnya selama 34 tahun. Kiai Haji Ahmad Azhar Basyir dilahirkan di Yogyakarta tanggal 21 November 1928. Ia menamatkan studi dasar di Sekolah Rakyat Muhammadiyah di Suronatan Yogyakarta tahun 1940. Pada tahun 1944 menamatkan Madrasah Al-Fatah di Kauman Yogyakarta. Selain itu, ia juga pernah belajar di Madrasah Salafiah Pondok Pesantren Termas Pacitan, Jawa Timur pada tahun 1942-1943. Setelah itu, ia melanjutkan studinya di Madrasah Muballighin III (Tabligh School) Muhammadiyah di Yogyakarta tahun 1946.

Setelah masa-masa agresi militer Belanda di Indonesia yang melibatkannya dalam aksi-aksi kelasykaran di Yogyakarta (ia tercatat sebagai anggota Hizbullah dan Angkatan Perang Sabil), ia kembali melanjutkan studi formalnya di Madrasah Menengah Tinggi Yogyakarta tahun 1949 dan tamat tahun 1952. Kemudian meneruskan di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) Yogyakarta dan menyelesaikan gelar kesarjanaannya pada tahun 1956. Pada tahun 1957 ia mendapat tugas belajar di Universitas Baghdad Irak, yang kemudian tidak diselesaikannya, karena pindah ke Universitas Darul Ulum Mesir hingga mencapai gelar master tahun 1968. Tesis yang ditulisnya bertemakan Nizam Al-Mirats fi Indonesia, bainal `Urf wa-al-syari`ah al-Islamiyah (sistim warisan di Indonesia, menurut hukum adat dan Islam).

Setibanya di Indonesia dari studinya di Timur Tengah, ia masuk dalam jajaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Majelis Tarjih sampai tahun 1985. Setelah itu, ia menjabat Wakil Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah sampai tahun 1990, dan pada Muktamar Muhammadiyah ke-42 di Yogyakarta ia terpilih sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah menggantikan Pak AR Fachruddin.

Azhar Basyir merupakan sosok perpaduan ulama dan intelektual. Oleh karenanya, karya ilmiah yang pernah ditulisnya pun cukup banyak dan dijadikan rujukan dalam kajian ilmiah di berbagai universitas di Indonesia. Di antara karya-karyanya ialah Refleksi Atas Persoalan Keislaman (seputar filsafat, hukum, politik dan ekonomi); Garis-garis Besar Ekonomi Islam; Hukum Waris Islam; Sex Education; Citra Manusia Muslim; Syarah Hadits; Missi Muhammadiyah; Falsafah Ibadah dalam Islam; Hukum Perkawinan Islam; Negara dan Pemerintahan dalam Islam; Mazhab Mu'tazilah (Aliran Rasionalisme dalam Filsafat Islam); Peranan Agama dalam Pembinaan Moral Pancasila; Agama Islam I dan II, dan lain-lain. Selain itu, magister dalam dirasat Islamiyah Universitas Darul Ulum Kairo ini diakui secara internasional sebagai ahli fiqih yang disegani. Ia diterima duduk di Lembaga Fiqih Islam Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang memiliki persyaratan ketat.

Ahmad Azhar Basyir memangku jabatan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah tidak sampai pada akhir masa kepengurusannya, karena ia pun harus segera dipanggil menghadap Allah. Ia wafat di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sarjito setelah dirawat di PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Ia meninggal pada tanggal 28 Juni 1994 dalam usia 66 tahun. Ia dimakamkan di Pemakaman Umum Karangkajen Yogyakarta

Riwayat AR Fachruddin


Kiai Haji Abdur Rozzaq Fachruddin adalah pemegang rekor paling lama memimpin Muhammadiyah, yaitu selama 22 tahun (1968-1990). Ia lahir tanggal 14 Februari 1916 di Cilangkap, Purwanggan, Pakualaman, Yogyakarta. Ayahnya ialah KH. Fachruddin (seorang Lurah Naib atau Penghulu dari Puro Pakualaman yang diangkat oleh Kakek Sri Paduka Paku Alam VIII) yang berasal dari Bleberan, Brosot, Galur, Kulonprogo. Sementara ibunya ialah Maimunah binti KH. Idris Pakualaman. Pada tahun 1923, untuk pertama kalinya Abdur Rozak bersekolah formal di Standaad School Muhammadiyah Bausasran Yogyakarta.

Setelah ayahnya tidak menjadi Penghulu dan usahanya dagang batik juga jatuh, maka ia pulang ke desanya di Bleberan, Galur, Kulonprogo. Pada tahun 1925, ia pindah ke sekolah Standaard School (Sekolah Dasar) Muhammadiyah Prenggan, Kotagede, Yogyakarta. Setamat dari Standaard School di Kotagede pada tahun 1928, ia masuk di Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta. Baru belajar dua tahun di Muallimin, ayahnya memanggilnya untuk pulang ke Bleberan, dan belajar kepada beberapa kiai di sana, seperti ayahnya sendiri, KH. Abdullah Rosad, dan KH. Abu Amar. Sehabis Mahgrib sampai pukul 21.00, ia juga belajar di Madrasah Wustha Muhammadiyah Wanapeti, Sewugalur, Kulonprogo.

Setelah ayahnya meninggal di Bleberan dalam usia 72 tahun (1930), pada tahun 1932 Abdur Rozak masuk belajar di Madrasah Darul Ulum Muhammadiyah Wanapeti, Sewugalur. Selanjutnya pada tahun 1935 Abdur Rozak melanjutkan sekolahnya ke Madrasah Tabligh school (Madrasah Muballighin) Muhammadiyah kelas Tiga.

Pada tahun 1935, Abdur Rozak dikirim oleh Hoofdbestuur Muhammadiyah (pada periode KH. Hisyam) ke Talangbalai (sekarang dikenal dengan Ogan Komering Ilir) untuk mengembangkan gerakan dakwah Muhammadiyah. Di sana, ia mendirikan Sekolah Wustha Muallimin Muhammadiyah setingkat SMP. Pada tahun 1938, ia juga mengembangkan hal yang sama di Kulak Pajek, Sekayu, Musi Ilir (sekarang dikenal dengan Kabupaten Muba, Musi Banyu Asin). Tiga tahun kemudian, pada tahun 1941, ia pindah ke Sungai Batang, Sungai Gerong, Palembang sebagai pengajar HIS (Hollandcse Inlandevs School) Muhammadiyah yang setingkat dengan SD. Pada tanggal 14 Februari 1942, Jepang menyerbu pabrik minyak Sungai Gerong. Dengan sendirinya sekolah tempat mengajarnya ditutup. Kemudian Abdur Rozak dipindahkan mengajar di Sekolah Muhammadiyah Muara Maranjat, Tanjung Raja, Palembang, Sumatera Selatan sampai dengan tahun 1944. Selanjutnya ia akhirnya kembali ke Yogyakarta.

AR Fachruddin adalah ulama besar yang bewajah sejuk dan bersahaja, yang lebih dikenal dengan nama Pak AR. Kesejukannya sebagai pemimpin ummat Islam juga bisa dirasakan oleh ummat beragama lain. Ketika menyambut kunjungan Paus Yohanes Paulus II di Yogyakarta, sebenarnya ia menyampaikan kritikan, tetapi disampaikannya secara halus dan sejuk. Dalam sambutannya itu, ia mengungkapkan bahwa sebagian besar rakyat Indonesia adalah muslim. Akan tetapi disampaikannya pula tentang sikap mengganjal di kalangan umat Islam Indonesia bahwa umat Katholik banyak menggunakan kesempatan untuk mempengaruhi ummat Islam yang masih menderita agar mau masuk ke agama Katolik. Mereka diberi uang, dicukupi kebutuhannya, dibangun rumah-rumah sederhana, dipinjami uang untuk modal dagang, tetapi dengan ajakan agar menjadi umat kristen. Umat Islam dibujuk dan dirayu untuk pindah agama. Dalam tulisannya kepada Uskup Yohanes Paulus II, ia mengungkapkan bahwa agama harus disebarluaskan dengan cara-cara yang perwira dan sportif. Kritik ini diterima denganlapang dada oleh ummat lain karena disampaikan dengan lembut dan sejuk, serta dijiwai dengan semangat toleransi yang tinggi.

Pak AR menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada tahun 1968 setelah di-fait Accomply untuk menjadi Pejabat Ketua PP Muhammadiyah sehubungan dengan wafatnya KH. Faqih Usman. Dalam Sidang Tanwir di ponorogo (Jawa Timur) pada tahun 1969, ia akhirnya dikukuhkan menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah sampai Muktamar Muhammadiyah ke-38 di Ujung Pandang (Sulawesi Selatan) pada tahun 1971. Sejak saat itu ia terpilih secara berturut-turut dalam tiga kali Muktamar Muhammadiyah berikutnya untuk periode 1971-1974, 1974-1978, 1978-1985.

Di samping dikenal sebagai seorang mubaligh yang sejuk, ia juga dikenal sebagai penulis yang produktif. Karya tulisnya banyak dibukukan untuk dijadikan pedoman dalam beragama. Di antara karya-karyanya ialah Naskah Kesyukuran; Naskah Entheng, Serat Kawruh Islam Kawedar; Upaya Mewujudkan Muhammadiyah Sebagai Gerakan Amal; Pemikiran Dan Dakwah Islam; Syahadatain Kawedar; Tanya Jawab Entheng-Enthengan; Muhammadiyah adalah Organisasi Dakwah Islamiyah; Al-Islam Bagian Pertama; Menuju Muhammadiyah; Sekaten dan Tuntunan Sholat Basa Jawi; Kembali kepada Al-Qur`an dan Hadist; Chutbah Nikah dan Terjemahannya; Pilihlah Pimpinan Muhammadiyah yang Tepat; Soal-Jawab Entheng-enthengan; Sarono Entheng-enthengan Pancasila; Ruh Muhammadiyah; dan lain-lain.

Ulama kharismatik ini tidak bersedia dipilih kembali menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Muktamar Muhammadiyah ke-42 di Yogyakarta, walaupun masih banyak yang mengharapkannya. Ia berharap ada alih generasi yang sehat dalam Muhammadiyah. Ia wafat pada 17 Maret 1995 di Rumah Sakit Islam Jakarta pada usia 79 tahun.

Riwayat KH Ahmad Badawi


Ahmad Badawi lahir di Kauman Yogyakarta pada tanggal 5 Februari 1902 sebagai putra ke-4. Ayahnya bernama KH. Muhammad Fakih (yang merupakan salah satu Pengurus Muhammadiyah pada tahun 1912 sebagai Komisaris), sedangkan ibunya bernama Nyai H. Sitti Habibah (yang merupakan adik kandung dari KH. Ahmad Dahlan). Jika dirunut silsilah dari garis ayah, maka Badawi memiliki garis keturunan dari Panembahan Senopati. Dalam keluarga Badawi sangat kental dengan ditanamkan nilai-nilai agama. Dan ini sangat mempengaruhi perilaku hidup dan etika kesehariannya. Di antara saudara-saudaranya, Badawi memiliki kelebihan, yaitu senang berorganisasi. Hobinya ini menjadi ciri khusus baginya yang tumbuh sedari masih remaja, yaitu ketika ia masih menempuh pendidikan. Sejak masih belajar mengaji di pondok-pondok pesantren, dia sering membuat kelompok belajar/ organisasi yang mendukung kelancaran proses mengajinya.

Usia dininya dilalui dengan belajar mengaji pada ayahnya sendiri. Pada tahun 1908-1913 menjadi santri di Pondok Pesantren Lerab Karanganyar. Di pesantren ini ia belajar banyak tentang nahwu dan sharaf. Pada tahun 1913-1915 ia belajar kepada ustadz KH. Dimyati di Pondok Pesantren Termas Pacitan. Di pesantren ini, ia dikenal sebagai santri yang pintar berbahasa Arab (Nahwu dan Sharaf) yang telah didapat di Pondok Lerab. Dan pada tahun 1915-1920 Ahmad badawi mondok di Pesantren Besuk, di Wangkal Pasuruan. Akhirnya ia mengakhiri pencarian ilmu agama di Pesantren Kauman dan Pesantren Pandean di Semarang pada tahun 1920-1921. Sedangkan pendidikan formalnya hanya didapatkan di Madrasah Muhammadiyah yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan di Kauman Yogyakarta, kemudian berubah menjadi Standaarschool dan kemudian menjadi Sekolah Dasar.

Tumbuhnya organisasi-organisasi kebangsaan ketika usia Badawi masih remaja membuatnya harus pandai-pandai untuk menentukan pilihan aktivitas organisasi. Masing-masing organisasi berupaya menggalang anggota-anggotanya dengan berbagai macam cara untuk bersatu mengusir pemerintah kolonial Belanda dengan berbagai variasi sesuai dengan misi dan visi organisasinya.

Keinginannya untuk mengamalkan dan mengajarkan ilmu yang telah dipelajarinya dari berbagai pesantren akhirnya mengantarkannya pada Muhammadiyah sebagai pilihannya dalam beraktivitas. Hal ini dilatarbelakangi oleh misi, visi, dan orientasi Muhammadiyah selaras dengan cita-cita Badawi. Keberadaannya di Muhammadiyah lebih diperjelas dengan tercatatnya ia di buku Anggota Muhammadiyah Nomor 8543 pada tanggal 25 September 1927. Keanggotaan ini diperbarui pada zaman Jepang sehingga ia ditempatkan pada nomor 2 tertanggal 15 Februari 1944 (Jusuf Anis, tt, p. 25).

Pada masa perjuangan, Badawi pernah memasuki Angkatan Perang Sabil (APS). Ia turut beroperasi di Sanden Bantul, Tegallayang, Bleberan, Kecabean Kulon Progo. Pada tahun 1947-1949, Badawi menjadi Imam III APS bersama dengan KH. Mahfudz sebagai Imam I dan KRH. Hadjid selaku Imam II untuk Daerah Istimewa Yogyakarta. Dia juga pernah menjadi anggota Laskar Rakyat Mataram atas instruksi dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dan bergabung di Batlyon Pati dan Resimen Wiroto, MPP Gedongan. Pada tahun 1950, Badawi dikukuhkan sebagai Wakil Ketua Majelis Syuro Masyumi di Yogyakarta. Di partai ini, ia tidak banyak perannya, karena partai ini kemudian membubarkan diri.

Semenjak ia berkiprah di Muhammadiyah, ia lebih leluasa mengembangkan potensi dirinya untuk bertabligh. Keinginan ini dijalankan melalui kegiatan sebagai guru di sekolah (madrasah) dan melalui kegiatan dakwah lewat pengajian dan pembekalan ke- Muhammadiyah-an. Prestasi di bidang tabligh telah mengantarkan Badawi untuk dipercaya menjadi Ketua Majlis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada tahun 1933. Pada tahun-tahun berikutnya, ia juga diserahi amanat untuk menjadi Kepala Madrasah Za'imat (yang kemudian digabung dengan Madrasah Mualimat pada tahun 1942). Di Madrasah Mualimat ia mempunyai obsesi untuk memberdayakan potensi wanita, sehingga mereka akan bisa menjadi mubalighat yang handal di daerahnya.

Semenjak itu, keberadaan Badawi tidak diragukan lagi. Di Pimpinan Pusat Muhammadiyah ia selalu terpilih dan ditetapkan menjadi wakil ketua. Kemudian pada waktu Muktamar Muhammadiyah ke-35 di Jakarta, Badawi terpilih menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1962-1965, dan pada Muktamar Muhammadiyah ke-36 di Bandung terpilih lagi menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1965 - 1968.

Citra politik Muhammadiyah pada periode kepemimpinan Badawi memang sedang tersudut, karena banyaknya anggota Muhammadiyah yang menjadi anggota dan pengurus Masyumi yang saat itu sedang menjadi target penghancuran oleh rezim Orde Lama. Citra ini memang sengaja dihembus-hembuskan oleh PKI, bahwa Muhammadiyah dituduh anti-Pancasila, anti-NASAKOM, dan pewaris DI/TII. Muhammadiyah saat berhadapan dengan adanya banyak tekanan politik masa Orde Lama.

Menghadapi realitas politik seperti itu, Muhammadiyah akhirnya dipaksa berhadapan dengan urusan-urusan politik praktis. Muhammadiyah sendiri kurang leluasa dalam beradaptasi dan berinteraksi dengan sistem politik yang dibangun Orde Lama. Akhirnya Muhammadiyah mengambil kebijakan politik untuk turut serta terlibat dalam urusan-urusan kenegaraan. Meski demikian, realitas menunjukkan bahwa Muhammadiyah hanya mampu mengerem laju pengaruh komunis di masa Orde Lama yang kurang mengedepankan nilai agama dan moralitas bangsa.

Kebijakan Muhammadiyah seperti itu akhirnya membawa kedekatan Badawi dengan Presiden Soekarno. Semenjak 1963, Badawi diangkat menjadi Penasehat Pribadi Presiden di bidang agama. Perlu diperhatikan bahwa kedekatan Badawi dengan Soekarno bukan untuk mencari muka Muhammadiyah di mata Presiden. KHA. Badawi sangat bijak dan pintar dalam meloby Presiden dengan nuansa agamis. KHA. Badawi tidak menjilat dan menjadi antek Soekarno seperti yang dilakukan oleh tokoh-tokoh lain. Ia memiliki prinsip agama yang kuat, sehingga Muhammadiyah mengamanatkan kepadanya untuk mendekati Soekarno. Kedekatan ini juga dirasakan oleh Soekarno, bahwa dirinya sangat memerlukan nasehat-nasehat agama. Oleh karenanya bila KHA. Badawi memberikan masukan-masukan yang disampaikan secara bijak, Soekarno sangat memperhatikannya. Bahkan Menteri-menterinyapun diminta turut memperhatikan fatwa Badawi.

Bagi Muhammadiyah, hal ini sangat menguntungkan. Fitnahan terhadap Muhammadiyah yang bernada negatif terus jalan, maka hal itu harus diimbangi dengan upaya mengikisnya. Soekarno sendiri sadar bahwa Muhammadiyah senafas dan seiraman dengan Masyumi, ia tetap membutuhkan kehadiran Muhammadiyah. Bahkan ia semakin menyukainya atau untuk ballance of power policy (PP. Muhammadiyah, tt, halaman 6). Iktikad baik Soekarno ini menunjukkan bahwa dirinya sangat memerlukan kahadiran Muhammadiyah untuk mengimbangi keberadaan PNI, NU, dan PKI yang dirasanya lebih dekat.

Nasehat-nasehat politik yang diberikan Badawi sangat berbobot dipandang dari kacamata Islam. Secara relatif ia bisa mengendalikan Presiden Soekarno agar tidak terseret terlalu jauh dari pengaruh-pengaruh komunis yang menggerogotinya. Siraman rohani disampaikannya kepada Soekarno tidak terikat oleh ruang dan waktu. Di mana ada kesempatan, Badawi memberikan nasehatnya kepada Presiden. Pada tahun 1968, ia diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung. Pengangkatan ia berdasar pada prestasinya ketika memimpin Muhamadiyah (1962-1965 dan 1965-1968) dan pengalaman ia menjadi Penasehat Pribadi Presiden Soekarno di bidang agama. Di DPA, ia memberikan nasehat kepada Presiden Soeharto di bidang agama Islam. Di Dewan Pertimbangan Agung, KHA. Badawi sebenarnya sedikit memberikan nasehatnya pada awal Orde Baru. Hal ini dikarenakan kondisi fisiknya yang sudah melemah. Penyakit yang disandangnya kurang memungkinkan fisiknya yang sudah tua untuk turut berkiprah lebih banyak dalam memberikan sumbangsihnya kepada negara dan bangsa.

Di samping sebagai pemimpin, Badawi juga produktif sebagai penulis. Karya-karya tulis yang telah dihasilkannya antara lain ialah Pengadjian Rakjat, Kitab Nukilan Sju'abul-Imam (bahasa Jawa), Kitab Nikah (huruf Pegon dan berbahasa Jawa), Kitab Parail (huruf Latin berbahasa Jawa), Kitab Manasik Hadji (bahasa Jawa), Miah Hadits (bahasa Arab), Mudzakkirat fi Tasji'il Islam (bahasa Arab), Qawaidul-Chams (bahasa Arab), Menghadapi Orla (Bahasa Indonesia), dan Djadwal Waktu Shalat untuk selama2nja (HM. Jusuf Anis, tt: 27).

Badawi meninggal pada hari Jum'at 25 April 1969 pada pukul 09.45 di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Upaya kedokteran tidak bisa menghadang takdir Allah yang telah ditentukan atasnya. Di saat meninggal, Badawi masih menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung dari tahun 1968. Sedang di Muhammadiyah ia ditempatkan sebagai Penasehat PP. Muhammadiyah periode 1969-1971 berdasar hasil Muktamar Muhammadiyah ke-37 di Yogyakarta

Riwayat KH Yunus Anis


Muhammad Yunus Anis dilahirkan di kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 3 Mei 1903. Ayahnya, Haji Muhammad Anis, adalah seorang abdi dalem Kraton Yogyakarta. Berdasarkan surat kekancingan dari Swandana Tepas Dwara Putera Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat pada tahun 1961, disebutkan bahwa Yunus Anis masih ada hubungan kekerabatan dengan Sultan Mataram. Sejak kecil ia dididik agama oleh kedua orang tuanya dan datuknya sendiri, terutama membaca al-Qur'an dan pendidikan akhlaq. Pendidikan formalnya dimulai di Sekolah Rakyat Muhammadiyah Yogyakarta, kemudian dilanjutkan di Sekolah Al-Atas dan Sekolah Al-Irsyad di Batavia (Jakarta) yang dibimbing oleh Syekh Ahmad Syurkati, seorang kawan akrab Kiai Dahlan. Pendidikan yang diterima di sekolah tersebut membawa dirinya tampil sebagai pemimpin Islam di Indonesia yang tangguh.

Setelah menamatkan pendidikannya, Yunus Anis mengaktifkan diri sebagai muballigh. Ia banyak terjun ke masyarakat di berbagai daerah di Indonesia untuk mengembangkan misi dakwah dan Muhammadiyah. Ia juga banyak mendirikan cabang Muhammadiyah di berbagai daerah di Indonesia.

Ia dikenal juga sebagai organisator dan administrator. Tahun 1924-1926 ia menjabat sebagai Pengurus Cabang Muhammadiyah di Batavia. Kepemimpinannya semakin menonjol dan memperoleh kepercayaan dari keluarga besar Muhammadiyah. Pada tahun 1934-1936 dan 1953-1958 ia dipercaya sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Kepiawaiannya dalam pengetahuan agama menyebabkan banyak orang percaya kepadanya, termasuk tentara. TNI pada tahun 1954 mengangkatnya sebagai Kepala Pusroh Angkatan Darat Republik Indonesia (Imam Tentara). Berkaitan dengan tanggung jawabnya sebagai imam tentara, ia banyak memberikan pembinaan mental bagi tentara saat itu.

Pembubaran Masyumi membawa implikasi yang buruk terhadap ummat Islam, karena ummat Islam nyaris tidak terwakili di parlemen saat itu (DPRGR). Dalam kondisi seperti itu, ia diminta oleh beberapa orang, termasuk oleh AH. Nasution, untuk bersedia menjadi anggota DPRGR yang sedang disusun oleh Presiden Soekarno sendiri. Kesediaannya menjadi anggota DPRGR sebenarnya mengundang banyak kritikan dari para tokoh Muhammadiyah saat itu, karena Muhammadiyah saat itu tidak mendukung kebijakan Presiden Soekarno yang membubarkan Masyumi dan bertindak secara otoriter menyusun anggota parlemen. Namun kritik itu dijawab bahwa keterlibatannya dalam DPRGR bukanlah untuk kepentingan politik jangka pendek, tetapi untuk kepentingan jangka panjang, yaitu mewakili ummat Islam yang nyaris tidak terwakili dalam parlemen saat itu.

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menandai era berlakunya kembali UUD'45 dalam negara kesatuan republik Indonesia menimbulkan berbagai macam peristiwa politik yang tidak sehat. Manuver dan intrik yang dilakukan oleh partai politik, terutama Partai Komunis Indonesia, sangat membahayakan bagi kondisi politik yang sehat di negeri ini. Dalam situasi seperti itulah Yunus Anis terpilih sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1959-1962 dalam Muktamar Muhammadiyah ke-34 di Yogyakarta.

Pada periode kepemimpinannya diusahakan melahirkan Rumusan Keperibadian Muhammadiyah. Perumusan tersebut digarap oleh sebuah team yang diketuai oleh KH. Faqih Usman, dan akan diputuskan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-35 tahun 1962 yang bertepatan dengan setengah abad Muhammadiyah.

Riwayat KH Mas Mansyur


Sebelum Muhammadiyah Cabang Surabaya didirikan, KH. Ahmad Dahlan sudah sering melakukan tabligh ke daerah ini. Tabligh-tabligh itu dilaksanakan berupa pengajian yang diselenggarakan di Peneleh Surabaya. Dalam pengajian-pengajian itulah Bung Karno dan Roeslan Abdul Gani untuk pertama kalinya mendengarkan penjelasan tentang ajaran Islam dari KH. Ahmad Dahlan. Setiap melaksanakan tabligh di Surabaya, KH. Ahmad Dahlan biasanya bermalam di penginapan. Akan tetapi suatu malam ia didatangi oleh seorang tamu yang memintanya agar setiap KH. Ahmad Dahlan ke Surabaya bersedia untuk menginap di rumahnya. Tamu itu ialah Kiai Haji Mas Mansur. Mas Mansur selalu mengikuti pengajian yang diberikan oleh KH. Ahmad Dahlan, dan ia sangat tertarik oleh isi kajian yang diberikannya, serta tertarik juga akan kesederhanaannya.

Mas Mansur lahir pada hari Kamis tanggal 25 Juni 1896 Masehi di Surabaya. Ibunya bernama Raudhah, seorang wanita kaya yang berasal dari keluarga Pesantren Sidoresmo Wonokromo Surabaya. Ayahnya bernama KH. Mas Ahmad Marzuqi, seorang pioneer Islam, ahli agama yang terkenal di Jawa Timur pada masanya. Dia berasal dari keturunan bangsawan Astatinggi Sumenep, Madura. Dia dikenal sebagai imam tetap dan khatib di Masjid Agung Ampel Surabaya, suatu jabatan terhormat pada saat itu.

Masa kecilnya dilalui dengan belajar agama pada ayahnya sendiri. Di samping itu, dia juga belajar di Pesantren Sidoresmo, dengan Kiai Muhammad Thaha sebagai gurunya. Pada tahun 1906, ketika Mas Mansur berusia sepuluh tahun, dia dikirim oleh ayahnya ke Pondok Pesantren Demangan, Bangkalan, Madura. Di sana, dia mengkaji al-Qur`an dan mendalami kitab Alfiyah ibn Malik kepada Kiai Khalil. Belum lama dia belajar di sana kurang lebih dua tahun, Kia Khalil meninggal dunia, sehingga Mas Mansur meninggalkan pesantren itu dan pulang ke Surabaya.

Sepulang dari Pondok Pesantren Demangan pada tahun 1908, oleh orang tuanya disarankan untuk menunaikan ibadah haji dan belajar di Makkah pada Kiai Mahfudz yang berasal dari Pondok Pesantren Termas Jawa Tengah. Setelah kurang lebih empat tahun belajar di sana, situasi politik di Saudi memaksanya pindah ke Mesir. Penguasa Arab Saudi, Syarif Hussen, mengeluarkan instruksi bahwa orang asing harus meninggalkan Makkah supaya tidak terlibat sengketa itu. Pada mulanya ayah Mas Mansur tidak mengizinkannya ke Mesir, karena citra Mesir (Kairo) saat itu kurang baik di mata ayahnya, yaitu sebagai tempat bersenang-senang dan maksiat. Meskipun demikian, Mas Mansur tetap melaksanakan keinginannya tanpa izin orang tuanya. Kepahitan dan kesulitan hidup--karena tidak mendapatkan kiriman uang dari orang tuanya untuk biaya sekolah dan biaya hidup--harus dijalaninya. Oleh karena itu, dia sering berpuasa Senin dan Kamis dan mendapatkan uang dan makanan dari masjid-masjid. Keadaan ini berlangsung kurang lebih satu tahun, dan setelah itu orang tuanya kembali mengiriminya dana untuk belajar di Mesir.

Di Mesir, dia belajar di Perguruan Tinggi Al-Azhar pada Syaikh Ahmad Maskawih. Suasana Mesir pada saat itu sedang gencar-gencarnya membangun dan menumbuhkan semangat kebangkitan nasionalisme dan pembaharuan. Banyak tokoh memupuk semangat rakyat Mesir, baik melalui media massa maupun pidato. Mas Mansur juga memanfaatkan kondisi ini dengan membaca tulisan-tulisan yang tersebar di media massa dan mendengarkan pidato-pidatonya. Ia berada di Mesir selama kurang lebih dua tahun. Sebelum pulang ke tanah air, terlebih dulu dia singgah dulu di Makkah selama satu tahun, dan pada tahun 1915 dia pulang ke Indonesia.

Sepulang dari belajar di Mesir dan Makkah, ia menikah dengan puteri Haji Arif yaitu Siti Zakiyah yang tinggalnya tidak jauh dari rumahnya. Dari hasil pernikahannya itu, mereka dikaruniai enam orang anak, yaitu Nafiah, Ainurrafiq, Aminah, Muhammad Nuh, Ibrahim dan Luk-luk. Di samping menikah dengan Siti Zakiyah, dia juga menikah dengan Halimah. Dia menjalani hidup dengan istri kedua ini tidak berlangsung lama, hanya dua tahun, karena pada tahun 1939 Halimah meninggal dunia.

Langkah awal Mas Mansur sepulang dari belajar di luar negeri ialah bergabung dalam Syarikat Islam. Peristiwa yang dia saksikan dan alami baik di Makkah, yaitu terjadinya pergolakan politik, maupun di Mesir, yaitu munculnya gerakan nasionalisme dan pembaharuan merupakan modal baginya untuk mengembangkan sayapnya dalam suatu organisasi. Pada saat itu, SI dipimpin oleh HOS Cokroaminoto, dan terkenal sebagai organisasi yang radikal dan revolusioner. Ia dipercaya sebagai Penasehat Pengurus Besar SI.

Di samping itu, Mas Mansur juga membentuk majelis diskusi bersama Abdul Wahab Hasbullah yang diberi nama Taswir al-Afkar (Cakrawala Pemikiran). Terbentuknya majelis ini diilhami oleh Masyarakat Surabaya yang diselimuti kabut kekolotan. Masyarakat sulit diajak maju, bahkan mereka sulit menerima pemikiran baru yang berbeda dengan tradisi yang mereka pegang. Taswir al-Afkar merupakan tempat berkumpulnya para ulama Surabaya yang sebelumnya mereka mengadakan kegiatan pengajian di rumah atau di surau masing-masing. Masalah-masalah yang dibahas berkaitan dengan masalah-masalah yang bersifat keagamaan murni sampai masalah politik perjuangan melawan penjajah.

Aktivitas Taswir al-Afkar itu mengilhami lahirnya berbagai aktivitas lain di berbagai kota, seperti Nahdhah al-Wathan (Kebangkitan Tanah Air) yang menitikberatkan pada pendidikan. Sebagai kelanjutan Nahdhah al-Wathan, Mas Mansur dan Abdul Wahab Hasbullah mendirikan madrasah yang bernama Khitab al-Wathan (Mimbar Tanah Air), kemudian madrasah Ahl al-Wathan (Keluarga Tanah Air) di Wonokromo, Far'u al-Wathan (Cabang Tanah Air) di Gresik dan Hidayah al-Wathan (Petunjuk Tanah Air) di Jombang. Kalau diamati dari nama yang mereka munculkan, yaitu wathan yang berarti tanah air, maka dapat diketahui bahwa kecintaan mereka terhadap tanah air sangat besar. Mereka berusaha mencerdaskan bangsa Indonesia dan berusaha mengajak mereka untuk membebaskan tanah air dari belenggu penjajah. Pemerintahan sendiri tanpa campur tangan bangsa lain itulah yang mereka harapkan.

Taswir al-Afkar merupakan wadah yang diskusinya mau tidak mau permasalahan yang mereka diskusikan merembet pada masalah khilafiyah, ijtihad, dan madzhab. Terjadinya perbedaan pendapat antara Mas Mansur dengan Abdul Wahab Hasbullah mengenai masalah-masalah tersebut yang menyebabkan Mas Mansur keluar dari Taswir al-Afkar.

Mas Mansur juga banyak menghasilkan tulisan-tulisan yang berbobot. Pikiran-pikiran pembaharuannya dituangkannya dalam media massa. Majalah yang pertama kali diterbitkan bernama Suara Santri. Kata santri digunakan sebagai nama majalah, karena pada saat itu kata santri sangat digemari oleh masyarakat. Oleh karena itu, Majalah Suara Santri mendapat sukses yang gemilang. Majalah Jinem merupakan majalah kedua yang pernah diterbitkan oleh Mas Mansur. Majalah ini terbit dua kali sebulan dengan menggunakan bahasa Jawa dengan huruf Arab. Kedua majalah tersebut merupakan sarana untuk menuangkan pikiran-pikirannya dan mengajak para pemuda melatih mengekspresikan pikirannya dalam bentuk tulisan. Melalui majalah itu Mas Mansur mengajak kaum muslimin untuk meninggalkan kemusyrikan dan kekolotan. Di samping itu, Mas Mansur juga pernah menjadi redaktur majalah Kawan Kita di Surabaya.

Tulisan-tulisan Mas Mansur pernah dimuat di Majalah Siaran dan Majalah Kentungan di Surabaya; Penaganjur dan Islam Bergerak di Yogyakarta; Panji Islam dan Pedoman Masyarakat di Medan dan Adil di Solo. Di samping melalui majalah-majalah, Mas Mansur juga menuliskan ide dan gagasannya dalam bentuk buku, antara lain yaitu Hadits Nabawiyah; Syarat Syahnya Nikah; Risalah Tauhid dan Syirik; dan Adab al-Bahts wa al-Munadlarah.

Di samping aktif dalam bidang tulis-menulis, dia juga aktif dalam organisasi, meskipun aktivitasnya dalam organisasi menyita waktunya dalam dunia jurnalistik. Pada tahun 1921, Mas Mansur masuk organisasi Muhammadiyah. Aktivitas Mas Mansur dalam Muhammadiyah membawa angin segar dan memperkokoh keberadaan Muhammadiyah sebagai organisasi pembaharuan. Tangga-tangga yang dilalui Mas Mansur selalu dinaiki dengan mantap. Hal ini terlihat dari jenjang yang dilewatinya, yakni setelah Ketua Cabang Muhammadiyah Surabaya, kemudian menjadi Konsul Muhammadiyah Wilayah Jawa Timur. Puncak dari tangga tersebut adalah ketika Mas Mansur menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah pada tahun 1937-1943.

Mas Mansur dikukuhkan sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah dalam Kongres Muhammadiyah ke-26 di Yogyakarta pada bulan Oktober 1937. Banyak hal pantas dicatat sebelum Mas Mansur terpilih sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah. Suasana yang berkembang saat itu ialah ketidakpuasan angkatan muda Muhammadiyah terhadap kebijakan Pengurus Besar Muhammadiyah yang terlalu mengutamakan pendidikan, yaitu hanya mengurusi persoalan sekolah-sekolah Muhammadiyah, tetapi melupakan bidang tabligh (penyiaran agama Islam). Angkatan Muda Muhammadiyah saat itu berpendapat bahwa Pengurus Besar Muhammadiyah hanya dikuasai oleh tiga tokoh tua, yaitu KH. Hisyam (Ketua Pengurus Besar, KH. Mukhtar (Wakil Ketua), dan KH. Syuja' sebagai Ketua Majelis PKO (Pertolongan Kesedjahteraan Oemoem).

Situasi bertambah kritis ketika dalam Kongres Muhammadiyah ke-26 di Yogyakarta pada tahun 1937, ranting-ranting Muhammadiyah lebih banyak memberikan suara kepada tiga tokoh tua tersebut. Kelompok muda di lingkungan Muhammadiyah semakin kecewa. Namun setelah terjadi dialog, ketiga tokoh tersebut ikhlas mengundurkan diri.

Setelah mereka mundur lewat musyawarah, Ki Bagus Hadikusumo diusulkan untuk menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, namun ia yang menolak. Kiai Hadjid juga menolak ketika ia dihubungi untuk menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah. Perhatian pun diarahkan kepada Mas Mansur (Konsul Muhammadiyah Daerah Surabaya). Pada mulanya Mas Mansur menolak, tetapi setelah melalui dialog panjang ia bersedia menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah.

Pergeseran kepemimpinan dari kelompok tua kepada kelompok muda dalam Pengurus Besar Muhammadiyah tersebut menunjukkan bahwa Muhammadiyah saat itu sangat akomodatif dan demokratis terhadap aspirasi kalangan muda yang progresif demi kemajuan Muhammadiyah, bukan demi kepentingan perseorangan. Bahkan Pengurus Besar Muhammadiyah pada periode Mas Mansur juga banyak didominasi oleh angkatan muda Muhammadiyah yang cerdas, tangkas, dan progresif.

Terpilihnya Mas Mansur sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah meniscayakannya untuk pindah ke Yogyakarta bersama keluarganya. Untuk menopang kehidupannya, Muhammadiyah tidak memberikan gaji, melainkan ia diberi tugas sebagai guru di Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah, sehingga ia mendapatkan penghasilan dari sekolah tersebut. Sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, Mas Mansur juga bertindak disiplin dalam berorganisasi. Sidang-sidang Pengurus Besar Muhammadiyah selalu diadakan tepat pada waktunya. Demikian juga dengan para tamu Muhammadiyah dari daerah-daerah. Berbeda dari Pengurus Besar Muhammadiyah sebelumnya yang seringkali menyelesaikan persoalan Muhammadiyah di rumahnya masing-masing, Mas Mansur selalu menekankan bahwa kebiasaan seperti itu tidak baik bagi disiplin organisasi, karena Pengurus Besar Muhammadiyah telah memiliki kantor sendiri beserta segenap karyawan dan perlengkapannya. Namun ia tetap bersedia untuk menerima silaturrahmi para tamu Muhammadiyah dari daerah-daerah itu di rumahnya untuk urusan yang tidak berkaitan dengan Muhammadiyah.

Kepemimpinannya ditandai dengan kebijaksanaan baru yang disebut Langkah Muhammadiyah 1938-1949. Ada duabelas langkah yang dicanangkannya. Selain itu, Mas Mansur juga banyak membuat gebrakan dalam hukum Islam dan politik ummat Islam saat itu. Yang perlu untuk pula dicatat, Mas Mansur tidak ragu mengambil kesimpulan tentang hukum bank, yakni haram, tetapi diperkenankan, dimudahkan, dan dimaafkan, selama keadaan memaksa untuk itu. Ia berpendapat bahwa secara hukum bunga bank adalah haram, tetapi ia melihat bahwa perekonomian ummat Islam dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, sedangkan ekonomi perbankan saat itu sudah menjadi suatu sistem yang kuat di masyarakat. Oleh karena itu, jika ummat Islam tidak memanfaatkan dunia perbankan untuk sementara waktu, maka kondisi perekonomian ummat Islam akan semakin turun secara drastis. Dengan demikian, dalam kondisi keterpaksaan tersebut dibolehkan untuk memanfaatkan perbankan guna memperbaiki kondisi perekonomian ummat Islam.

Dalam perpolitikan ummat Islam saat itu, Mas Mansur juga banyak melakukan gebrakan. Sebelum menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, Mas Mansur sebenarnya sudah banyak terlibat dalam berbagai aktivitas politik ummat Islam. Setelah menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, ia pun mulai melakukan gebrakan politik yang cukup berhasil bagi ummat Islam dengan memprakarsai berdirinya Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI) bersama KHA. Dahlan dan KH. Wahab Hasbullah yang keduanya dari Nahdlatul Ulama (NU). Ia juga memprakarsai berdirinya Partai Islam Indonesia (PII) bersama Dr. Sukiman Wiryasanjaya sebagai perimbangan atas sikap non-kooperatif dari Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Demikian juga ketika Jepang berkuasa di Indonesia, Mas Mansur termasuk dalam empat orang tokoh nasional yang sangat diperhitungkan, yang terkenal dengan empat serangkai, yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Mas Mansur.

Katerlibatannya dalam empat serangkai mengharuskannya pindah ke Jakarta, sehingga Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah diserahkan kepada Ki Bagus Hadikusumo. Namun kekejaman pemerintah Jepang yang luar biasa terhadap rakyat Indonesia menyebabkannya tidak tahan dalam empat serangkai tersebut, sehingga ia memutuskan untuk kembali ke Surabaya, dan kedudukannya dalam empat serangkai digantikan oleh Ki Bagus Hadikusumo.

Ketika pecah perang kemerdekaan, Mas Mansur belum sembuh benar dari sakitnya. Namun ia tetap ikut berjuang memberikan semangat kepada barisan pemuda untuk melawan kedatangan tentara Belanda (NICA). Akhirnya ia ditangkap oleh tentara NICA dan dipenjarakan di Surabaya. Di tengah pecahnya perang kemerdekaan yang berkecamuk itulah, Mas Mansur meninggal di tahanan pada tanggal 25 April 1946. Jenazahnya dimakamkan di Gipo Surabaya. Atas jasa-jasanya, oleh Pemerintah Republik Indonesia ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional bersama teman seperjuangannya, yaitu KH. Fakhruddin.

Ki Bagus Hadikusumo


Ki Bagus Hadikusumo dilahirkan di kampung Kauman Yogyakarta dengan nama R. Hidayat pada 11 Rabi'ul Akhir 1038 Hijriyah. Ia putra ketiga dari lima bersaudara Raden Kaji Lurah Hasyim, seorang abdi dalem putihan (pejabat) agama Islam di Kraton Yogyakarta. Seperti umumnya keluarga santri, Ki Bagus mulai memperoleh pendidikan agama dari orang tuanya dan beberapa Kiai di Kauman.

Setelah tamat dari 'Sekolah ongko loro' (tiga tahun tingkat sekolah dasar), Ki Bagus belajar di pondok pesantren tradisional Wonokromo Yogyakarta. Di Pesantren ini ia mulai banyak mengkaji kitab-kitab fiqh dan tasawuf. Dalam usia 20 tahun Ki Bagus menikah dengan Siti Fatmah (putri Raden Kaji Suhud) dan memperoleh enam anak. Salah seorang di antaranya ialah Djarnawi Hadikusumo, tokoh Muhammadiyah dan pernah menjadi orang nomor satu di Parmusi. Setelah Fatmah meninggal, ia menikah lagi dengan seorang wanita pengusaha dari Yogyakarta bernama Mursilah. Ia dikaruniai anak tiga orang anak. Ki Bagus kemudian menikah lagi dengan Siti Fatimah (juga seorang pengusaha) setelah istri keduanya meninggal. Dari istrinya yang ketiga ini ia memperoleh lima anak.

Sekolahnya tidak lebih dari sekolah rakyat (sekarang SD) ditambah mengaji dan besar di pesantren, Tetapi berkat kerajinan dan ketekunan mempelajari kitab-kitab terkenal akhirnya ia menjadi orang alim, mubaligh dan pemimpin ummat. Ia merupakan pemimpin Muhammadiyah yang besar andilnya dalam penyusunan Muqadimah UUD 1945, karena ia termasuk dalam anggota Panitia Persiapan Kemerdekan Indonesia (PPKI). Ki Bagus Hadikusumo sangat besar peranannya dalam perumusan Muqadimah UUD 1945 dengan memberikan landasan ketuhanan, kemanusiaan, keberadaban, dan keadilan. Pokok-pokok pikirannya dengan memberikan landasan-landasan itu dalam Muqaddimah UUD 1945 itu disetujui oleh semua anggota PPKI.

Secara formal, disamping kegiatan tabligh, Ki Bagus pernah menjadi Ketua Majelis Tabligh (1922), Ketua Majelis Tarjih, anggota Komisi MPM Hoofdbestuur Muhammadijah (1926), dan Ketua PP Muhammadiyah (1942-1953). Pokok-pokok pikiran Ahmad Dahlan berhasil ia rumuskan sedemikian rupa sehingga dapat menjiwai dan mengarahkan gerak langkah serta perjuangan Muhammadiyah. Bahkan, pokok-pokok pikiran itu menjadi Muqadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah. Muqaddimah yang merupakan dasar ideologi Muhammadiyah ini menginspirasi sejumlah tokoh Muhammadiyah lainnya. HAMKA, misalnya, mendapatkan inspirasi dari muqaddimah tersebut untuk merumuskan dua landasan idiil Muhammadiyah, yaitu Matan Kepribadian Muhammadiyah dan Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah.

Ki Bagus juga sangat produktif untuk menuliskan buah pikirannya. Buku karyanya antara lain ialah Islam Sebagai Dasar Negara dan Achlaq Pemimpin. Karya-karyanya yang lain yaitu Risalah Katresnan Djati (1935), Poestaka Hadi (1936), Poestaka Islam (1940), Poestaka Ichsan (1941), dan Poestaka Iman (1954). Dari buku-buku karyanya tersebut tercermin komitmennya terhadap etika dan bahkan juga syariat Islam. Dari komitmen tersebut, Ki Bagus adalah termasuk seorang tokoh yang memiliki kecenderungan kuat untuk menginstutisionalisasikan Islam. Bagi Ki Bagus pelembagaan Islam menjadi sangat penting untuk alasan-alasan ideologi, politis, dan juga intelektual. Ini nampak dalam upayanya memperkokoh eksistensi hukum Islam di Indonesia ketika ia dan beberapa ulama lainnya terlibat dalam sebuah kepanitiaan yang bertugas memperbaiki peradilan agama (priesterraden commisse). Hasil penting sidang-sidang komisi ini ialah kesepakatan untuk memberlakukan hukum Islam. Akan tetapi Ki Bagus dikecewakan oleh sikap politik pemerintah kolonial yang didukung oleh para ahli hukum adat yang membatalkan seluruh keputusan penting tentang diberlakukannya hukum Islam untuk kemudian diganti dengan hukum adat melalui penetapan ordonansi 1931. Kekecewaannya ia ungkap kembali saat menyampaikan pidato di depan sidang BPUKPKI.

Munculnya Ki Bagus Hadikusumo sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah adalah pada saat terjadi pergolakan politik internasional, yaitu pecahnya perang dunia II. Kendatipun Ki Bagus Hadikusuma menyatakan ketidaksediaannya sebagai Wakil Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah ketika diminta oleh Mas Mansur pada kongres ke-26 tahun 1937 di Yogyakarta, ia tetap tidak bisa mengelak memenuhi panggilan tugas untuk menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah ketika Mas mansur dipaksa menjadi anggota pengurus Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) di Jakarta pada tahun 1942. Apalagi dalam situasi di bawah penjajahan Jepang, Muhammadyah memerlukan tokoh kuat dan patriotik. Ki Bagus Hadikusumo berani menentang perintah pimpinan tentara Dai Nippon yang terkenal ganas dan kejam untuk memerintahkan ummat Islam dan warga Muhammadiyah melakukan upacara kebaktian tiap pagi sebagai penghormatan kepada Dewa Matahari.

Ia menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah selama 11 tahun (1942-1953) dan wafat pada usia 64 tahun. Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan Nasional Indonesia.

Riwayat KH Faqih Usman


Kiai Haji Faqih Usman dilahirkan di Gresik Jawa Timur tanggal 2 Maret 1904. Ia berasal dari keluarga santri sederhana dan taat beribadah. Ia merupakan anak keempat dalam keluarga yanga gemar akan ilmu pengetahuan, baik pengetahuan agama maupun pengetahuan umum.

Masa kecilnya dilalui dengan belajar membaca al-Quran dan ilmu pengetahuan umum dari ayahnya sendiri. Menginjak usia remaja ia belajar di pondok pesantren di Gresik yang ditempuhnya antara tahun 1914-l918. Antara tahun 1918-1924 dia menimba ilmu pengetahuan di pondok pesantren di luar daerah Gresik. Dengan demikian, ia juga banyak menguasai buku-buku yang diajarkan di pesantren-pesantren tradisional, karena penguasaannya dalam bahasa Arab. Dia juga terbiasa membaca surat kabar dan majalah berbahasa Arab, terutama dari Mesir yang berisi tentang pergerakan kemerdekaan. Apalagi pada abad 19 dan awal abad 20 di dunia Islam yang pada umumnya sedang terjadi gerakan kebangkitan.

Faqih Usman dikenal memiliki etos entrepreneurship yang kuat. Kegiatan bisnis yang dilakukannya cukup besar dengan mendirikan beberapa perusahaan yang bergerak dalam bidang penyediaan alat-alat bangunan, galangan kapal, dan pabrik tenun di Gresik. Bahkan, dia juga diangkat sebagai Ketua Persekutuan Dagang Sekawan Se-Daerah Gresik.

Keterlibatannya dalam Muhammadiyah dimulai pada tahun 1925, ketika ia diangkat sebagai Ketua Group Muhammadiyah Gresik yang dalam perkembangan selanjutnya menjadi salah satu cabang Muhammadiyah di Wilayah Jawa Timur. Selanjutnya karena kepiawaiannya sebagai ulama-cendekiawan, ia diangkat sebagai Ketua Majelis Tarjih Muhammadiyah Jawa Timur periode 1932-1936 yang berkedudukan di Surabaya. Ketika Mas Mansur dikukuhkan sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, ia menggantikan kedudukan Mas Mansur sebagai Konsul Muhammadiyah Jawa Timur menggantikan Mas Mansur pada tahun 1936. Pada tahun 1953, untuk pertama kalinya dia diangkat dan duduk dalam susunan kepengurusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan seterusnya selalu terpilih sebagai salah seorang staf ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Menjelang meninggalnya, ia dikukuhkan sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Muktamar Muhammadiyah ke-37 tahun 1968 di Yogyakarta untuk periode 1968-1971. Namun jabatan itu sempat diemban hanya beberapa hari saja, karena ia segera dipanggil menghadap Yang Maha Kuasa pada tanggal 3 Oktober 1968. Selanjutnya kepemimpinan Muhammadiyah dilanjutkan oleh KH. AR Fachruddin.

Faqih Usman pun banyak terlibat aktif di berbagai gerakan Islam yang sangat membantu pengembangan Muhammadiyah. Dia pernah memimpin majalah Bintang Islam sebagai media cetak Muhammadiyah wilayah Jawa Timur. Kegiatannya dalam Muhammadiyah memperluas jaringan pergaulannya, sehingga iapun terlibat aktif di berbagai organisasi masyarakat, seperti Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI) pada tahun 1937. Pada tahun 1940-1942, dia menjadi anggota Dewan Kota Surabaya. Pada tahun 1945 dia menjadi anggota Komite Nasional Pusat dan Ketua Komite Nasional Surabaya. Pada tahun 1959, dia menerbitkan majalah Panji Masyarakat (Panjimas) bersama-sama dengan Hamka, Joesoef Abdullah Poear, dan Joesoef Ahmad. Majalah ini merupakan majalah yang memiliki ikatan yang erat dengan Muhammadiyah. Dia juga ikut andil dalam pendirian Partai Masyumi sejak didirikannya pada tanggal 7 Nopember 1945 dalam Muktamar Ummat Islam di Yogyakarta. Dia duduk sebagai salah seorang Pengurus Besar Masyumi, dan pada tahun 1952 duduk sebagai Ketua II sampai dengan tahun 1960, yaitu pada saat Masyumi dibubarkan. Pembubaran Masyumi pada masa rezim Soekarno menancapkan luka yang mendalam bagi para tokoh ummat Islam saat itu, sehingga ketika rezim itu tumbang digantikan rezim Orde Baru, maka Faqih Usman bersama dengan Hasan Basri (Mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia yang sudah meninggal) dan Anwar Haryono (Mantan Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) mengirim nota politik kepada pemerintah Orde Baru. Nota politik ini kemudian dikenal dengan Nota KH. Faqih Usman, yang isinya permintaan agar Pemerintah RI Orde Baru mau merehabilitasi Masyumi sebagai partai terlarang.

Faqih Usman pun banyak terlibat dalam aktivitas politik di negeri ini. Dia pernah dipercaya Pemerintah RI untuk memimpin Departemen Agama pada masa Kabinet Halim Perdanakusumah sejak tanggal 21 Januari 1950 sampai dengan tanggal 6 September 1950, dan pada tahun 1951 ia ditunjuk sebagai Kepala Jawatan Agama Pusat. Situasi politik di tanah air yang tidak stabil saat itu menyebabkan susunan kabinet pun jatuh bangun. Ia dipercaya kembali sebagai Menteri Agama pada masa kabinet Wilopo sejak tanggal 3 April l952 sampai tanggal 1 Agustus 1953. Fenomena terpilihnya Faqih Usman sebagai Menteri Agama yang kedua kalinya sempat menimbulkan konflik politik antara Masyumi dan NU. KH. Abdul Wahab Hasbullah yang merupakan representasi kubu Nahdhatul Ulama menuntut agar jabatan Menteri Agama tetap diberikan kepada unsur NU. Namun setelah diadakan pemungutan suara, ternyata Faqih Usman (representasi Masyumi) yang terpilih. Hal ini mempengaruhi peta politik Islam di tanah air, karena akhirnya justru mempercepat proses pemisahan Nahdhatul Ulama (NU) dari Masyumi.

Selepas dari jabatan Menteri Agama RI, ia masih tetap duduk sebagai anggota aktif Konstituate, di samping jabatannya sebagai pegawai tinggi yang diperbantukan pada Departeman Agama sejak tahun l954. Sebagai salah seorang tokoh Masyumi, dia juga terlibat aktif dalam resolusi konflik politik dalam negeri. Hal itu terlihat menjelang meletusnya gerakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Utara. Bersama dengan Moch. Roem, dia berusaha menjadi mediator untuk mendamaikan konflik antara PRRI dengan pemerintah pusat saat itu. Ia berusaha menemui rekan-rekannya di Masyumi yang terlibat dalam kegiatan PRRI tersebut, seperti Muhammad Natsir, Boerhanuddin Harahap, dan Sjafruddin Prawiranegara untuk mendialogkan persoalan yang semakin menajam menjadi perang saudara tersebut. Upaya ini tidak membawa hasil yang memuaskan, bahkan bisa dianggap gagal. Dalam keputusasaannya tersebut, akhirnya ia kembali ke Muhammadiyah sebagai basis aktivitas kemasyarakatannya.

Sebagai salah seorang Wakil Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada periode kepengurusan Badawi yang pertama, yakni antara tahun 1962-l965, ia merumuskan seuah konsep pemikiran yang kemudian dikenal dengan Kepribadian Muhammadiyah. Rumusan pemikirannya ini diajukan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-35 tahun 1962 di Jakarta, dan akhirnya diterima sebagai pedoman bagi warga Muhammadiyah.