Rabu, 28 Oktober 2009

Sumpah Pemuda ; "Mendjoendjoeng" Bahasa Indonesia dengan Bahasa Daerah

Oleh : Heru Cahyono

Kekayaan Indonesia tidak hanya mencakup tanah-sungainya, gunung-lautnya, dan lembah-hutannya, tetapi juga meliputi suku tentu sekaligus bahasa masing-masing suku yang begitu beragam.

Namun, sepandai-pandai menjaga kekayaan, bakal tergerus juga, bahkan bisa-bisa menuju kemiskinan. Nah, bayangkan kalau si empunya kekayaan sama sekali tak pandai menjaganya, tak tulus merawat dan menumbuhkembangkannya?

Seiring perputaran masa, jumlah bahasa daerah di Indonesia kian menyusut. Menyusut karena penuturnya terus berkurang, karena yang mewarisi bahasa daerah terlibat jauh pada peristiwa modernisasi. Tentu arus modern, mau tak mau, secara sistimatis akan mencuci keindonesian seseorang, seterusnya keindonesiaan Indonesia. Termasuk keindonesiaan bahasa yang digunakan.

Ya, penjajahan bahasa asing terhadap bahasa Indonesia kerap dituding telah menggoyahkan pondasi keindonesiaan bahasa nasional. Bermukimnya bahasa asing baik secara sah maupun tidak sah di dalam bahasa Indonesia tidak dapat dihindari. Bukankah bahasa Indonesia diposisikan sebagai bahasa yang tumbuh dan berkembang, dinamis dan lapang dada?

Agaknya, mengabaikan bahasa asing, terutama bahasa Inggris adalah sebuah kemustahilan. Apalagi bahasa Indonesia tidak duduk di kasta tertinggi pada pergaulan bahasa Internasional. Namun, tidak serta-merta bahasa Indonesia harus menjadi bahasa yang senantiasa menadahkan tangan. Selektif mengutip bahasa asing menjadi pilihan yang paling aman. Meskipun tidak mudah menyeleksi bahasa asing yang menerjang bagai air bah.

Nah, salah satu cara dari sedikit cara untuk memperlambat laju pasokan bahasa asing, ya, dengan memberdayakan khazanah bahasa daerah yang hidup di Indonesia. Selain berfaedah merawat keindonesiaan bahasa Indonesia, juga berguna untuk mencegah kepunahan bahasa daerah. Sekali petik, dua tiga tangkai bunga pindah ke tangan!

Ketergantungan terhadap Asing

Tindakan ini pun semata memperlambat eksodus bahasa asing ke ranah bahasa Indonesia. Tidak mungkin memutus sama sekali. Mengapa demikian? Banyak konsep pada kosakata bahasa asing yang tidak tersedia dalam bahasa Indonesia. Dengan kata laina, konsep pada kosakata bahasa daerah tidak sepenuhnya mampu mewakili kosakata dan istilah modern, yang tentu banyak terbit dari bahasa asing.

Maka tidak perlu heran jika ‘bantuan’ bahasa asing terhadap bahasa Indonesia lebih semarak ketimbang sumbangan bahasa daerah. Untung negara lain tidak pernah memperkarakan bangsa Indonesia yang banyak memungut kosakata mereka. Sejatinya, Indonesia memang pemungut aktif bahasa asing, baik bulat-bulat maupun lewat proses penyerapan. Alif Danya Munsyi, yang tak lain adalah Remy Silado pernah menulis sebuah buku berjudul "9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah Asing".

Fakta ini membuktikan bahwa sejak lampau, bahasa Indonesia disesaki bahasa asing. Sayangnya, banyak pengguna bahasa tidak memakai bahasa asing yang sesungguhnya telah diformat ke dalam bahasa Indonesia. Kenyataan ini diperparah oleh ketergantungan pengguna bahasa terhadap bahasa asing sekaligus keengganan menggunakan bahasa daerah, meski telah diamini kamus.

Bahasa Daerah Disyukuri

Maka, kita patut bersyukur kalau masih ada masyarakat yang mempertahankan pemakaian bahasa daerah dalam kondisi tertentu. Bahasa daerah (masing-masing) termasuk perangkat yang diusung kelompok-kelompok masyarakat yang berlandaskan kesukuan. Memang, ada penilaian yang keliru terhadap kelompok masyarakat yang masih setia menggunakan bahasa daerah. Padahal, ritual-ritual adat, khususnya upacara perkawinan tidak hanya berguna untuk melestarikan budaya, tetapi juga memperpanjang usia ciri keindonesiaan dalam kosakata bahasa Indonesia.

Sungguh, sebuah kebahagiaan tatkala Sultan Hamengku Buwono X berancang mewajibkan setiap pegawai di lingkungan Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta serta kabupaten/kota berbahasa Jawa setiap hari tertentu. Memang, kebijakan ini tidak bisa ditiru mentah-mentah oleh daerah-daerah yang penduduknya dihuni oleh banyak suku (tidak ada suku yang mayoritas). Namun, semangat Sultan dalam melestarikan bahasa daerah patut direnungkan, dijabarkan dalam perilaku berbahasa.

Menjatuhkan beban untuk mendongkrak harkat dan martabat bahasa Indonesia ke pundak bahasa daerah memang bukan jalan keluar satu-satunya. Namun, menjadi siasat alternatif untuk mempertahankan harga diri bahasa Indonsia dari ‘kebuasan’ bahasa asing. Betapa hina jika tak mengikutsertakan bahasa daerah dalam menegakkan kewibawaan bahasa Indonesia.

Pula, bukankah hal ini menjadi modal penting untuk mewujudkan salah satu amanat yang tercantum dalam Sumpah Pemuda: kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatuan bahasa Indonesia?

Tidak ada komentar: