Pasca keruntuhan Orde Baru seolah menjadi lampu hijau untuk bangkitnya kembali Soekarnoisme di Indonesia. Bagaikan orang yang berpuasa untuk mengagungkan Soekarno, maka bedug keruntuhan Orde Baru dijadikan saat yang tepat untuk melepas kehausan sepuas-puasnya terhadap figur Soekarno.
Seiring kondisi di atas ada pertanyaan yang harus kita jawab dengan akal sehat, bukan dengan memori indah masa lalu. “Layakkah Soekarno memperoleh sanjungan yang tak berbatas itu?” Jawabnya adalah “tidak, sekali lagi tidak.” Jawaban ini saya yakin menimbulkan kemarahan bagi para Soekarnoisme. Tetapi memang itu yang harus saya katakan. Sebagai seorang orator maka saya mengacungkan jempol untuk Soekarno. Sebagai pemersatu bangsa, Soekarno tiada duanya. Sebagai Proklamator, jangan coba-coba ada yang mengingkari. Tetapi sebagai pemimpin besar bangsa ini kita harus berfikir secara jernih.
Pola pikir Soekarno dan penghormatan rakyat lapisan bawah akan lebih tepat seandainya Soekarno menjadi “Raja Indonesia” dan memimpin bangsa ini dijaman kerajaan. Ada beberapa hal yang dimiliki Soekarno yang hanya layak diperoleh dan dilakukan oleh seorang raja diantaranya:
1. Presiden seumur hidup
2. Demokrasi terpimpin
3. Kultus individu
4. Lebih dari satu istri.
Presiden seumur hidup: Pengangkatan dirinya (tidak adanya penolakan) sebagai Presiden seumur hidup merupakan pemutar balikan secara drastis apa yang selama ini selalu dia perjuangkan. Menghapus feodalisme di Indonesia. Indonesia harus menjadi negara demokrasi demikian selalu Soekarno katakan, dan sendainya bukan Soekarno yang diangkat menjadi presiden seumur hidup maka saya yakin dia akan menjadi orang terdepan yang memprotes keputusan tersebut. Kepentingan pribadi telah berada di atas visi perjuangan Soekarno. Dan hanya seorang raja yang berhak atas pengangkatan tersebut. Soekarno mencoba menembus dinding sebagai “Presiden RI” menuju “Raja Indonesia”.
Demokrasi terpimpin: Demokrasi yang bertanggung jawab dan beretika adalah suatu keharusan, tetapi demokrasi terpimpin merupakan bibir otoriter yang dibalut gincu demokrasi. Kondisi yang demikian hanya patut terjadi dijaman kerajaan. Adakah faktor usia telah membuat Soekarno lupa bahwa dia hidup di Negara Demokrasi bukan dijaman kerajaan. Kultus Individu yang terlalu dominan dan terkadang berbau mistik makin melengkapi Soekarno untuk menjadi seorang raja. Peci, tongkat komando sering menimbulkan kisah mistik laksana busana dan keris para raja. Soekarno sebagai seorang intelektual seakan-akan membiarkan semua itu semakin berkembang, termasuk gambar di atas mungkin lebih layak diterima seorang raja bukan seorang Presiden.
Keberadaan lebih dari satu istri lebih mendekatkan Soekarno sebagai seorang raja, dan hal tersebut dianggap wajar untuk seorang Soekarno. Kultus individu telah menutup mata semua elemen bangsa saat itu. Setiap kunjungan ke luar negeri selalu mengisahkan cerita kecil tentang Soekarno dan wanita. Termasuk saat bung Karno hendak membeli BH di sebuah pertokoan di luar negeri, ia tak segan memajang semua pramu niaga wanita guna mencari ukuran yang pas. Etiskah itu dilakukan oleh seorang kepala Negara ? dan begitu pentingkah BH tersebut sehingga harus dibeli disela-sela kunjungan sebagai kepala Negara. Dimanakah nama bangsa yang terkenal dengan sopan santunnya ? Bagi anda yang pernah membaca Sewindu Dekat Bung Karno, tentu akan menemui cuplikan cerita bagaimana seorang ajudan Presiden (Kol. KKO. Bambang Wijanarko) diminta untuk mencari teman kencan pada malam hari, dan harus menceritakan kemesuman yang terjadi pada malam itu pada saat sarapan pagi keesokan harinya. Adakah hal ini lazim dilakukan oleh seorang Presiden?.
Kondisi pada saat itu membuat semua orang takut untuk memberikan peringatan kepada Soekarno, pers kehabisan tinta untuk menulis dan akhirnya diam bahkan menyebut itu semua sebagai kelebihan dari sosok Soekarno, karena semua sadar apabila hal itu dilakukan maka tangan besi Soekarno sebagai jawabannya. Pada prinsipnya tangan besi Soekarno tak jauh berbeda dengan tangan besi seorang raja, serta saudara kembar dari system Soeharto. Merah hitam Indonesia ditentukan oleh Soekarno. Mari kita bedah nurani ini, dan tempatkan segala sesuatu sesuai porsinya, termasuk sosok Soekarno. Namun demikian, masih banyak sumbangsih Soekarno untuk bangsa ini. Dan tidak terlalu berlebihan apa bila berdasar pada sisi positif perjuangan Soekarno maka pemerintah menetapkan serta mengangkat Soekarno menjadi Pahlawan Nasional.(*) oleh: Tony Mardianto
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar